Logo Bloomberg Technoz

Pertamina International Shipping Bicara Ekspansi hingga Go Public

Wike Dita Herlinda
17 July 2023 17:18

CEO Pertamina Shipping International, Yoki Firnandi (Wike Herlinda)
CEO Pertamina Shipping International, Yoki Firnandi (Wike Herlinda)

Bloomberg Technoz, Singapura – PT Pertamina International Shipping (PIS) menjadi salah satu anak usaha Pertamina Group yang saat ini memainkan peran krusial dalam memposisikan industri logistik energi Indonesia di pasar global.

Di tengah berbagai dampak sentimen ketidakpastian global terhadap pasar migas, PIS pun mulai menggali peluang perluasan pasar serta portofolio di luar bisnis inti pengapalan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) ke luar negeri.

Berbagai strategi untuk dapat terus berekspansi pun disiapkan, termasuk rencana menggalang dana publik melalui jalur penawaran publik perdana atau initial public offering (IPO) dalam beberapa tahun ke depan.

 Seperti apa strategi PIS dalam menghadapi tantangan sektor logistik migas ke depannya?

Bloomberg Technoz berkesempatan untuk menggali lebih dalam mengenai hal tersebut dengan CEO Pertamina Shipping International, Yoki Firnandi, yang juga merupakan pemimpin perusahaan termuda di Pertamina Group. Berikut petikan wawancaranya:

PIS sedang fokus untuk ekspansi layanan ke pasar internasional, lantaran pasar domestik sudah mulai mature. Bisa dielaborasi, apa yang selama ini sudah dilakukan terkait dengan hal itu, serta bagaimana rencana pengembangannya? 

Iya, karena pasar domestik sudah mature, kami harus going out; go global, menjadi pemain regional dan internasional di sektor shipping and marine logistics. Kami memahami untuk go global, kami butuh memperluas jaringan.   

Untuk itu; pertama, kami sudah punya anak usaha PIS yang Singapura, namanya PIS Asia Pacific. Nah, ini adalah outlet pertumbuhan kami di kawasan Asia Pasifik yang sudah berdiri sejak 2018 dan sekarang kami perkuat terus; mulai dari sumber dayanya, orang-orangnya, kapal-kapalnya dan kapabilitasnya.  

Akhir tahun lalu, kami sudah punya cabang di Dubai, yang mudah-mudahan segera akan menjadi anak usaha, namanya PIS Middle East. Sesuai namanya, itu cerminan bahwa kami mau menjangkau pasar Timur Tengah dan sekitarnya seperti Asia Selatan, termasuk India yang pangsa pasar dan kebutuhan energinya besar.  

Pada saat kami mendirikan PIS Middle East tahun lalu, kami sadar bahwa ternyata pendapatan dari [layanan] internasional kami baru sekitar 3,5% disumbang dari Timur Tengah. Sisanya 96,5% masih dari Asia Pasifik. Itu membuktikan bahwa kita memang harus serius menggarap pasar Timur Tengah. Itu mengapa network kami harus diperluas.  

Kedua, pada saat kami mau menjadi international player di sektor ini; artinya suka atau tidak suka kami harus bisa mengikuti standar, persyaratan, dan regulasi internasional maupun standar dari penyewa atau pengguna jasa kami.

Jadi, dari situ ada perbaikan signifikan dari sisi bagaimana kami mengelola kapal. Kapalnya harus bagus, harus sesuai standar. Dari kapal-kapal yang kami operasikan –baik yang milik sendiri maupun pihak ketiga– standardisasinya kami naikkan.

Lalu, tidak hanya standar kapal dan operasionalnya, tetapi juga layanannya menjadi lebih baik. Kami menaikkan skill dan kompetensi. Kami banyak memiliki talenta muda yang kami kirim untuk magang maupun bekerja di kantor kami di Dubai dan Singapura. Kami juga terbuka untuk merekrut talenta terbaik di industri ini. Kami memang dalam proses untuk merekrut beberapa posisi penting, yang menurut kami, masih butuh dibangun kapabilitasnya. 

Terus, bagaimana ke depan agar kami bisa tetap ekspansi? Betul, memang bisnis inti kami masih di migas, tetapi kami juga harus mulai bisa membuka diri untuk peluang lain. Dalam artian, kami terus memetakan bisnis apa lagi yang kira-kira masih related dengan bisnis inti kami.

Berarti ada rencana PIS masuk ke bisnis pengapalan dan logistik di luar migas?

Iya, petrokimia. Masih muatan cair kan. Lalu juga biofuel seperti FAME atau metanol dan sebagainya. Itu semua sangat relevan dengan bisnis kami. Tinggal bagaimana kami bisa menyiapkan teknisnya, kapalnya, jejaring konsumen, dan lain sebagainya.

Namun, kami juga berpikir di luar dari muatan cair.  Kami melihat energi masa depan seperti apa. Nantinya akan ada hidrogen, amonia, dan lain-lain. Kami sudah mulai masuk ke situ juga. 

Seperti untuk amonia, kami memang sudah ada kapal yang memang bisa mengangkut amonia. Meskipun masih dalam tahap awal, tetapi ini cukup menjanjikan.

Saat ini, 20 kapal pengangkut gas PT PIS ikut serta sebagai agen transisi menuju energi hijau, yang akan disusul dengan kapal pengangkut LNG dan ammonia dalam waktu 2 - 3 tahun ke depan.

CEO Pertamina Shipping International, Yoki Firnandi (Wike Herlinda)

Terkait dengan pasar yang disasar PIS yaitu Asia Pasifik dan Timur Tengah; apa saja tantangan di masing-masing region tersebut? Apakah ada wilayah baru yang sedang dibidik sebagai tindak lanjut dari rencana ekspansi?

Secara umum begini, pada saat kami ingin masuk ke satu kawasan untuk berbisnis di pasar baru, memang tentunya kita harus kenal pasar itu. Kami enggak bisa cuma ‘Oh kami mau market Eropa’, lalu tiba-tiba cari potensinya.

Mungkin bisa saja jangka pendek seperti itu, 1—2 tahun. Namun, untuk bisa sustain dalam bertumbuh dan benar-benar menjadi pemain yang signifikan di kawasan, ya memang kami harus invest waktu dan sumber daya yang tahap awal memang hanya dikhususkan untuk menjaring informasi [kondisi dan kebutuhan pasar]. 

Kami tidak muluk-muluk sekadar mau langsung tumbuh pendapatannya di satu wilayah karena customer-nya banyak. Tahap-tahap awal, kami tahu bahwa untuk bisa tumbuh, hal yang harus dilakukan adalah membangun jejaring, memahami pasar, dan membangun pengalaman. Apalagi, model bisnis kami business-to-business [B2B]. Dengan demikian, kami benar-benar harus tahu apa saja yang dibutuhkan untuk bisa sukses di kawasan itu. 

Misal di Timur Tengah. Ya minimal mengenali siapa saja klien terbesarnya dan apa yang menjadi nilai tambah buat mereka supaya mereka menggunakan jasa kami. Untuk Asia Pasifik, kami sudah hampir 5 tahun buka cabang di Singapura. Belum lagi, keberadaan Indonesia melalui Pertamina Group di Asia Tenggara ini cukup dikenal.

Namun, ketika geser ke belahan wilayah lain, ya mungkin cuma 1—2  [calon mitra] yang mengenal kami. Nah ini mengapa kami harus mengenalkan diri. Jadi challenge-nya, ya memang kami butuh waktu.

Secara growth, pertumbuhan PIS Middle East seperti apa sejauh ini?

Kalau kami melihat dari sisi kami; pertama, potensinya ada. Kami sudah mulai mendapatkan permintaan dan customer, walaupun belum signifikan karena kami masih butuh aset [kapal] untuk melayani. 

Nah, maka dari itu, sebenarnya salah satu poin untuk bertumbuh, kami harus investasi [aset]. Kita tahu kawasan Timur Tengah ini adalah sumber energi terbesar yang butuh ditransportasikan. Belum lagi, di sekitar situ market besarnya ada Eropa, Asia Selatan, dan Timur Jauh. 

Jadi itu yang kami lihat, potensinya besar. Cuma tinggal bagaimana masuk ke sana, dan berhubungan dengan investasi kapal.

Sejauh ini berapa kapal yang dioperasikan PIS?

Kalau kita berbicara kapal untuk angkutan atau carrier, PIS sekarang mengoperasikan kurang lebih hampir 300 kapal di seluruh dunia. Dari jumlah itu, 98 di antaranya milik PIS, sedangkan sisanya sewa. Kami berekspektasi dalam beberapa tahun ke depan akan terus tumbuh.

Berapa rencana penambahan kapal dan investasi yang disiapkan?

Ada kebutuhan untuk menggantikan kapal yang sudah tua dan juga untuk menambah. Kalau kami mengalkulasi, dalam 3 tahun ke depan, kapal kami bisa mencapai 110 yang milik sendiri. Jadi kami merencanakan kurang lebih tambahan 30 kapal dalam 3 tahun ke depan.

Kalau investasinya untuk ke depan, kami belum punya angka final. Namun untuk tahun ini  saja, belanja modal kami untuk investasi  dibutuhkan kurang lebih hampir US$800 juta, di mana belanja untuk kapal kurang lebih sekitar 30% di antaranya. Jadi sekitar US$250 juta untuk tahun ini saja untuk pembelian kapal.  

Sektor migas saat ini tengah disentil oleh banyak sentimen. Mulai dari isu krisis energi, transisi ke energi hijau, hingga pemangkasan produksi OPEC+. Bagaimana sentimen-sentimen itu berdampak terhadap bisnis PIS, terutama di tengah rencana untuk kian serius menggarap pasar Timur Tengah? 

Bisnis internasional yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan komoditas energi, memang penuh ketidakpastian. Di satu sisi, kita tahu ada pemulihan pascapandemi di mana aktivitas ekonomi di sejumlah negara sudah mulai tumbuh lagi. Di sisi lain, ada kekhawatiran resesi yang pasti akan menghambat pertumbuhan ekonomi apalagi di belahan Barat. Itu yang menjadi dilema [bagi bisnis kami]. 

Namun, poin pertama, kami melihat ternyata pertumbuhan permintaan terhadap minyak mentah ini sudah mulai tinggi lagi. Kalau kita lihat saat pandemi, permintaan minyak mentah kurang dari 100 juta barel per hari, saat ini sudah lebih dari 100 juta dan bahkan ada proyeksi dalam beberapa tahun ke depan akan tembus lebih dari 105 juta barel per hari.

Sekarang setidaknya permintaan untuk volume [komoditas energi] yang ditransportasikan itu ada. 

Poin kedua, terjadi perubahan pola suplai. Kami melihat bahwa produksi migas dari Amerika Serikat [AS] terus naik, meski OPEC+ pangkas produksi. Akibatnya terjadi pergeseran pola permintaan juga. Permintaan dari Asia makin bertumbuh. Dampaknya, terjadi kenaikan ton miles, jadi volume [barang yang dikapalkan] boleh sama, tetapi jarak yang diperlukan untuk mentransportasikannya makin panjang. 

Artinya, dibutuhkan lebih banyak kapal. Belum lagi, ke depan, dengan adanya transisi energi dan ekspektasi bahwa sektor logistik harus menurunkan emisi; tentunya akan ada banyak regulasi internasional yang membatasi emisi kapal. Pada saat itu terjadi, akan ada banyak kapal yang tereliminasi.

Belum lagi nantinya kapal akan diklasifikasikan berdasarkan tingkat emisinya. Makin tinggi tingkat emisinya, makin terbatas ruang pelayarannya; hanya boleh [berlayar] di negara-negara dunia ketiga, bukan untuk international trading

Artinya, kebutuhan terhadap kapal-kapal yang comply [dengan misi transisi energi global] dan efisien akan makin tinggi. 

Saat ini, galangan-galangan kapal dunia sudah penuh order sampai dengan 2027, bahkan setelahnya. Dengan demikian, prospek ke depan masih cukup menjanjikan di tengah tantangan. Namun, kami juga harus siap dengan mitigasi risikonya, katakanlah jika sampai terjadi perlambatan yang pada akhirnya mengoreksi harga sewa kapal.

Seperti apa peluang diversifikasi yang ingin ditangkap PIS di tengah ketidakpastian sektor migas dan bisnis terkaitnya?

Lini bisnis kami tidak hanya di pengapalan. Kami punya marine logistics dan terminal. Menurut saya, strategi kami dalam mengelola portofolio bisnis ini juga sangat penting, supaya kami tidak menggantungkan 100% pendapatan dari sektor pengapalan. 

Jadi kami sedang memperkuat juga portofolio-portofolio [bisnis] lain yang eksposurnya terhadap pergerakan [dan gejolak] pasar relatif rendah. Misalnya marine logistics, yang potensi bisnisnya di dalam negeri sendiri masih sangat besar. 

Lalu kami juga punya anak usaha yang khusus menangani terminal logistik untuk Pertamina. Nah, ini juga bisa kami tawarkan untuk swasta. Kami juga sudah berbicara dengan pemerintah untuk menjajaki potensi-potensi membangun terminal dan pelabuhan.

Kami juga menjajaki investasi untuk terminal LNG [gas alam cair]. Ini kami sudah berbicara dengan mitra potensial; seperti dari Korea Selatan dan AS untuk LNG export facility. 

Begitu juga di sektor lain seperti offshore. Kami juga menjajaki potensi proyek-proyek offshore untuk pembangunan floating storage dan sebagainya. 

Ini semua adalah proyek-proyek jangka panjang yang akan membantu kami mengurangi ketergantungan kami terhadap bisnis pengapalan yang rentan terhadap gejolak pasar. 

Bagaimana prospek LNG shipping? Selama ini berapa banyak porsi pengapalan LNG dibandingkan dengan crude? 

Memang bisnis terbesar kita masih di pasar domestik. Cuma kalau sudah bicara bisnis internasional, artinya tidak terbatas pada kargonya Pertamina Group atau perusahaan Indonesia. Kita harus bisa melihat potensi-potensi lain.

Kalau kita berbicara gas, LNG contohnya, ini akan banyak produksi LNG baru seperti di Qatar dan juga di AS. Kami aktif ikut tender penyediaan kapal LNG. Kami juga berbicara dengan Pertamina Group untuk penjualan portofolio LNG Pertamina yang tidak harus dijual ke dalam negeri. Jadi, potensinya sendiri relatif lebih besar. 

Makanya, menurut kami, mengejar pasar internasional itu sangat relevan supaya kami juga tidak terlalu bergantung dengan kebijakan di dalam negeri. 

Kalau bicara persentase, memang hampir 100% yang kami transportasikan masih didominasi minyak mentah, BBM [bahan bakar minyak] dan LPG  [gas minyak cair]. LNG sendiri memang salah satu prioritas kita. Terlebih, dunia diperkirakan –khususnya pada 2026 dan setelahnya– kekurangan kapal LNG.

Oleh karena itu, sekarang kami lagi mau coba bangun beberapa kapal LNG, meskipun harganya sangat-sangat mahal. Bahkan, tahun ini kami sedang open bid untuk pembangunan 2—4 kapal LNG yang capex-nya luar biasa [besar]. Ini untuk multiyears investment.  

Tadi disebutkan salah satu fokus bisnis PIS di luar shipping adalah terminal. Terkait dengan itu, bagaimana progres dan target relokasi TBBM Pertamina Plumpang?

Kalau berbicara infrastruktur energi BBM, memang beberapa infrastruktur sudah dibangun sejak lama sekali. Mungkin pada saat pembangunannya, situasi dan kondisinya berbeda dengan sekarang. Sejalan dengan waktu, kami mengevaluasi ada kebutuhan-kebutuhan baru agar terminal kami beroperasi di wilayah yang lebih baik. Juga bagaimana terminal ini menjawab kebutuhan sosial dan ekonomi Jabodetabek. Lalu juga bagaimana mengoperasikan terminal ini lebih ramah lingkungan. 

Ini kami sudah mendapatkan mandat dari Bu Nicke [Widyawati] sebagai Dirut Pertamina untuk mengembangkan konsep terminal baru untuk menyokong wilayah Jabodetabek. Kami sudah menyelesaikan studi tahap awal untuk membangun Jakarta New Green Terminal di kawasan Kalibaru yang saat ini dikembangkan oleh Pelindo.

Ini namanya ‘Project Horizon X’. Jadi horizon itu artinya untuk jangka panjang. X itu artinya ‘sesuatu yang baru’.

Kami sudah melakukan studi tahap awal. Kami sudah presentasikan ke pemegang saham Pertamina dan mendapatkan respons yang sangat positif, dan kami juga sudah berbicara dengan mitra potensial; dalam hal ini bisa jadi penyewa potensial atau terlibat di proyek tersebut sebagai investor atau lender yang bersedia membiayai proyek ini.

Tentunya kami juga sudah engage dengan pemilik lokasi, dalam hal ini Pelindo mengenai bagaimana kira-kira proyek ini bisa direalisasikan. Dalam waktu dekat, kami akan mulai menyusun feasibility study-nya.

Jadi, mudah-mudahan, kalau tidak ada hambatan 2027 kita sudah bisa lihat Jabodetabek punya terminal (TBBM) baru. Target kami demikian. 

Setelah itu, kami akan employ teknologi terbaik agar terminal ini dioperasikan dengan standar terbaik dan efisien, aman, andal, juga tentunya emisinya lebih rendah. Itu mengapa namanya Jakarta New Green Terminal. 

Terkait dengan rencana-rencana investasi dan penggalangan dana untuk proyek-proyek PIS. Dalam jangka pendek, bagaimana dengan persiapan menjadi perusahaan terbuka melalui IPO [initial public offering]? 

Dalam jangka pendek, kami mencari dana melalui corporate loan dan penerbitan obligasi. IPO adalah strategi jangka menengah kami juga. Mungkin sekitar 2—3 tahun lagi [IPO-nya]. Ini menjadi salah strategi yang sangat serius kami pertimbangkan. Tercatat di bursa domestik. 

Namun, tentunya ada banyak hal yang menjadi pertimbangan dan persiapan. Kami sedang memperkuat equity untuk bisa menuju IPO. Mungkin antara 2025—2026.  

Seremoni rebranding anak usaha PIS Singapura menjadi PIS Asia Pasific di Singapura, 5 Juli 2023

Berapa target dana publik yang hendak dihimpun? Dan akan dialokasikan untuk apa? 

Kami belum sampai ke detail itu. Memang fokus kami sekarang masih lebih ke bagaimana memperkuat pondasi kami untuk 2023. Namun, memang, semester II-2023 ini kami sudah mulai bicara lebih serius tentang rencana IPO.  

Lebih serius dalam artian kami sudah akan membangun timnya, mempersiapkan equity story kami agar saat 2025 nanti sudah clear untuk apa kami IPO dan berapa besar yang ingin dihimpun, dan lain-lain. 

Jadi memang kami masih di early stage untuk menuju ke sana.  

Tahun lalu capaian laba PIS mencapai lebih dari Rp3 triliun. Apa rencana untuk mempertahankan, bahkan menaikkan, capaian tersebut sebagai persiapan jelang IPO? 

Sekarang bisa dikatakan sekitar 87,5% pendapatan kami masih dari Pertamina Group. Sekitar 12% dari pihak ketiga, tahun lalu masih kurang dari 10%, tetapi sekarang sudah bertumbuh. 

Menurut saya, bisa dikatakan bisnis PIS sebagai anak usaha Pertamina itu berkah bagi kami. Secara tidak langsung, artinya kami punya captive market yang cukup besar yang menjadi jangkar dari bisnis PIS. Jangkar dalam arti bisnis PIS stabil, sustain, pertumbuhannya tetap ada; meskipun secara margin tidak semenarik pada saat kami berbisnis internasional karena ini terkait dengan peran Pertamina untuk menyalurkan energi di dalam negeri dengan biaya seekonomis mungkin. Jadi kami wajib menyokong mandat pemerintah tersebut. 

Namun, justru karena pasar Pertamina ini adalah jangkar, artinya kami punya pondasi yang solid yang memberanikan kami untuk punya portofolio bisnis yang agak berbeda. Portofolio bisnis yang secara risiko lebih tinggi, tetapi juga memberikan return yang lebih baik.  

Makanya tadi, melalui anak-anak usaha PIS, kami menjajaki proyek-proyek di luar negeri dan klien-klien baru. Namun, tantangannya, sekarang pasar pengapalan yang sedang sangat kuat ini juga diikuti dengan harga aset yang sangat mahal.  

Jadi, kami harus tumbuh, harus investasi, tetapi harus selektif juga dalam memilih portofolio. Jangan sampai kami investasi pada saat yang salah atau membeli aset yang tidak tepat pada saat pasar terkoreksi.  

Kami sudah melihat, ke depan, pasar angkutan LNG akan sangat kuat. Ini sangat terlihat dari harga aset yang terus-terusan naik. Harga kapal untuk LNG, misalnya, tahun lalu sekitar senilai US$90 juta, sekarang harganya sudah lebih dari US$100 juta. Jadi sudah ada capital gain dari aset itu sendiri. Itu menunjukkan bagaimana pasar sangat bullish terhadap potensi angkutan gas.  

Ada potensi pertumbuhan angkutan LNG akan menyalip crude? 

Secara growth iya. Permintaan terhadap angkutan LNG pertumbuhannya sudah melampaui crude. Namun, untuk volumenya, tentu masih jauh lebih besar minyak mentah.  

Akan tetapi, seperti saya katakan tadi, tantangannya adalah potensi kekurangan kapal tangker global dalam beberapa tahun ke depan. Dalam hal ini kami masih wait and see akan ambil posisi atau tidak. Bisnis pengapalan ini sama seperti minyak, ada siklusnya. 

Namun, para analis di sektor pengapalan bilang, [LNG] ini pasar yang sedang sangat kuat yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Soal rebranding beberapa anak usaha PIS di luar negeri. Selain untuk memposisikan diri di pasar internasional, rebranding ini akan membawa bisnis PIS ke arah mana? 

Pertama, rebranding [PIS Singapura menjadi PIS Asia Pacific] ini untuk kejelasan. Bahwa kantor di Singapura ini memang untuk melayani pasar Asia Pasifik, tidak hanya Singapura. Tentunya kapal yang beroperasi di kawasan ini agak berbeda dengan di Timur Tengah. 

Di Asia Pasifik lebih banyak refined products yang dikapalkan, sedangkan di Timur Tengah lebih banyak komoditas mentah.  

Kedua, dengan rebranding ini juga diharapkan mitra kerja kami memiliki kejelasan dalam membentuk kesepakatan. Mereka dealing ini dengan PIS mana. Mereka menjadi lebih tahu bagaimana kami menstrukturkan bisnis kami. 

Namun, di balik itu, sebenarnya kami baru berdiskusi internal bahwa engine pertumbuhan kami melalui anak usaha ini [PIS Asia Pacific]. Jadi, kami akan serius mengelola anak usaha kami untuk lebih siap berkompetisi.  

Pada 2030, PIS menargetkan 20% pendapatannya dari green business. Apa saja yang akan dioptimalkan untuk mencapai misi tersebut? 

Kita sudah memetakan beberapa potensi energi masa depan. Amonia Indonesia sudah mulai produksi, hidrogen pun sudah mulai. Kami akan mulai dengan komoditas ramah lingkungan yang diproduksi Indonesia. Seperti biofuel juga. Pertanyaannya tinggal, bagaimana kami siap masuk ke sana [pengapalannya]?

Dari sisi teknologi dan aset yang kami investasikan pun, kami sudah siapkan untuk bisa mengangkut itu semua. Misalnya kapal LPG yang sedang kami siapkan, dia juga bisa digunakan untuk mengangkut amonia.

Dengan demikian, pada saat terjadi perubahan permintaan terhadap jenis angkutan energi, kapal kami sudah siap. Teknologi kapalnya pun sudah kami siapkan. Ke depan, kapal-kapal harus rendah emisi dan mesinnya tidak boleh konvensional. Harus pakai mesin yang dual fuel. Itu juga sudah kami siapkan.

Selain itu, kami juga aktif mendekati pasar atau pemain yang memang sudah melirik ke sektor green energy ini. Umumnya di negara-negara maju. Kalau di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka sudah mulai sangat serius untuk masuk ke perdagangan energi ramah lingkungan. Kami sudah membangun komunikasi untuk menjaring mereka. 

Upaya kami untuk mencapai pasar-pasar ini akan makin tereskalasi ke depannya. Kalau saya lihat pertumbuhan PIS untuk mendapatkan pangsa pasar baru, saya optimistis target 20% pada 2030 itu bisa tercapai.

Pada akhirnya, seberapa besar kans Indonesia untuk menjadi market leader di industri logistik energi?

Dari sisi kapal yang kami operasikan saat ini, PIS merupakan perusahaan perkapalan terbesar di Asia Tenggara.  Kami memiliki visi menjadi pemimpin pasar dan perusahaan marine logistik terkemuka di Asia. Sejauh ini PIS sudah berlari cepat dan bertumbuh pesat, kami bahkan sudah bermitra dengan NYK yang merupakan salah satu raksasa di industri perkapalan dunia. 

Tentu saja, kami masih harus terus mengembangkan bisnis kami dari berbagai dimensi, dari sisi perluasan dan size pasar, kualitas kapal, kualitas operasional, layanan konsumen, kapabilitas SDM, networking, dan tentu teknologinya. PIS masih akan terus bergerak untuk berkembang, dan belajar dari the best players in the industry.