Logo Bloomberg Technoz

Namun secara total kewajiban WIKA kepada seluruh pihak, termasuk Bank Mandiri, sekitar US$850 juta atau Rp12,6 triliun berdasarkan data keuangan kuartal I-2023. Lender lain diantaranya:

  1. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Rp1,5 triliun
  2. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Rp1,5 triliun
  3. Bank BNI Rp990 miliar
  4. Bank Pan Indonesia (Bank Panin) Rp750 miliar
  5. Indonesia Eximbank Bank Rp 734 miliar
  6. Bank DKI Rp700 miliar
  7. Bank HSBC Indonesia Rp585,1 miliar
  8. Bank BRI Rp500 miliar
  9. Indonesia Infrastructure Finance Rp500 miliar
  10. Bank Jabar Banten Rp500 miliar
  11. Bank Syariah Indonesia Rp258 miliar
  12. Bank BTN Rp155 miliar
  13. Bank ICBC Indonesia Rp99 miliar
  14. Bank Danamon Rp35,8 miliar

Menurut Corporate Secretary WIKA Mahendra VIjaya menegaskan rencana restrukturisasi bertujuan untuk membenahi kinerja keuangan perseroan. Pada laporan kuartal I-2023 perseroan mencatat rugi bersih Rp521,2 miliar. Ini menjadi rekor kinerja terburuk usai pada posisi sebelumnya mampu raih laba meski tipis, Rp1,3 miliar.

Peresmian proyek infrastruktur pemerintah yang dikerjakan Wijaya Karya atau WIKA (dok Perusahaan)

Sepanjang tahun lalu WIKA juga merugi Rp59,59 miliar. Padahal tahun 2021 masih mencatat laba bersih Rp117,66 miliar. Rugi utamanya ditopang oleh kenaikan sejumlah beban, seperti beban pokok pendapatan naik 19,62% yoy dari Rp16,11 triliun menjadi Rp19,27 triliun, beban lain-lain naik 5,02% yoy dari Rp1,25 triliun ke Rp1,31 triliun, dan beban keuangan naik 18,49% yoy dari Rp1,15 triliun menjadi Rp1,37 triliun. 

Kinerja usaha WIKA memang sulit berkembang karena terbebani utang jumbo. Maklum saja WIKA dan sesama BUMN karya lain diberi penugasan oleh negara lewat pengerjaan proyek-proyek infrastruktur yang menjadi target Presiden Jokowi.

Dengan anggaran negara terbatas, alhasil perusahaan didorong untuk  berhutang. Pada bagian lain, WIKA merupakan perusahaan publik yang sahamnya juga dimiliki oleh investor. Tentu sebagai sebuah pilihan investasi, saham WIKA menjadi makin tidak menarik.

Saldo utangnya terus menggunung, pendapatan proyek tertunda karena efek pandemi Covid-19. Ini masih ditambah adanya sejumlah kenaikan beban usaha. Beberapa indikasi investasi juga mencatatkan rapor merah. Return on Equity (ROE) minus 16,7%, dengan Return on Assets (ROA) juga minus 2,87%. Net profit margin juga minus 11,9%.

Peneliti sekaligus Head of Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menyatakan wajar jika investor menghindari emiten BUMN Karya. Pasalnya mereka memiliki utang jangka panjang dan dalam jumlah besar.

“Dengan seperti itu pasti pengaruhi laba BUMN Karya, ketika pengaruhi laba sentimen kepada emiten rendah, yang menurut saya publik belum melihat adanya tanda-tanda terkait peningkatan laba. Itu yang mereka tunggu. Mereka [investor] salah satunya menghindari hal tersebut,” tutur Andry saat berbincang dengan Bloomberg Technoz.

Menurut Andry, BUMN karya sudah ‘berdarah-darah’ mengerjakan proyek infrastruktur pemerintah karena permodalan bersumber mayoritas dari pinjaman. Hal ini membuat perseroan terus menumpuk utang dan rasio Debt to Equity Ratio (DER) ada posisi ratusan persen.

“Ini jadi tekanan cukup besar untuk BUMN karya, dan kebanyakan [proyek] penugasan. Jadi mereka nalangin dulu, karena tidak ada modal, maka utang perbankan dan non perbankan,” tegas dia. Maka dari itu penting untuk tetap berpikir bahwa proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN karya tetap harus berorientasi untung.

(wep/dhf)

No more pages