Logo Bloomberg Technoz

“Kalau melihat di fix income trennya baik. [Perekonomian] kita tumbuh masih baik, lalu kita juga dapat mengendalikan tren suku bunga dengan baik. Itu yang membuat investor melihat bahwa indonesia bagus, sehingga mereka masuk ke fix income khususnya obligasi-obligasi jangka waktu panjang,” jelas Mauldy.

Sementara itu, pada 2020, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan nilai pembelian reksa dana mencapai Rp 637,5 triliun. Sedangkan nilai pencairan Rp 602,14 triliun. Hal ini lantas menghasilkan nett subscription sebesar Rp 35,4 triliun.

Namun paada 2021, terjadi net redemption Rp 4,61 triliun. Tren itu memuncak pada 2022 di mana nilai  pencairan terus naik menembus Rp 990,24 triliun. Padahal pada periode yang sama nilai subscription tercatat Rp 911,90 triliun. Sehingga tahun lalu terjadi net redemption sebesar Rp 78,34 triliun.

Tahun lalu, Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana anjlok menjadi Rp 507,68 triliun. Penurunan terus berlanjut hingga kuartal I-2023. Data OJK mencatat, pada Januari lalu nilai NAB mencapai Rp 512,76 triliun. Februari kembali menurun menjadi Rp 509,37 triliun, dan pada Maret tersisa Rp 504,18 triliun.

Terkait maraknya pencairan reksa dana dan penurunan NAB, Mauldy menilai hal tersebut tidak lantas menunjukkan menurunnya minat investor terhadap reksa dana. Menurutnya, penurunan NAB dan peningkatan pencairan dipengaruhi volatilitas yang terjadi pada aset dasar reksa dana.

Ilustrasi investasi pada reksa dana saham. (Dok Bloomberg)

“Kalau tidak diminati investor, saya rasa tidak, karena kalau kita lihat secara pertumbuhan investor malah naik. Penurunan NAB itu memang aset dasarnya. Saham volatilitas tinggi, maka ada penurunan. Kalau redemption, di tengah volatilitas seperti ini, orang akan melihat ada faktor-faktor ketidakpastian sehingga, misalnya, saham lagi naik dan kalau memang investasinya menguntungkan, ya di-redeem,” ungkap Mauldy. 

Meskipun para investor mencairkan reksa dananya, Mauldy menilai hal tersebut tidak berarti mereka akan meninggalkan investasi reksa dana sepenuhnya. Ia mengungkapkan para investor biasanya akan pindah ke reksa dana dengan kelas aset yang lebih rendah risikonya. 

“Diredeem itu bukan berarti tidak balik lagi, justru biasanya pindah kelas aset. [Jika] dilihat risiko volatilitasnya tinggi, biasanya masuk ke pasar uang atau masuk ke reksa dana pendapatan tetap. Orang shifting dari yang risky asset, ke less risky asset,” jelasnya.

Lebih lanjut, Mauldy menilai para investor yang melakukan pencairan reksa dana saat mengalami keuntungan umumnya merupakan investor institusi, bukan investor retail.

“Yang biasanya behaviour-nya kalau sudah untung keluar dulu itu [investor] institusi.  Institusi, misalnya, hanya beberapa, tapi angkanya besar-besar sehingga terasa. Kalau retail itu dia sticky karena waktunya panjang,” lanjutnya.

Untuk meningkatkan minat pada investasi reksa dana, Mauldy mengungkapkan pihaknya tengah berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lebih mempermudah transaksi investasi reksa dana.

APRDI juga mendorong literasi dan edukasi soal investasi reksa dana, serta inovasi terhadap produk reksa dana. Selain itu, menurutnya, perlu diberikan kemudahan bagi para investor retail dalam investasi reksa dana.

“Selain produk lebih beragam, harusnya ke investor retail itu dipermudah. Itu harus ada peranan semua pihak, termasuk regulator. Saluran distribusi diperbanyak. Misalnya, ada pihak-pihak yang memasarkan reksa dana itu diberi insentif, ada agen penjual yang fokus ke penjualan ritel, seharusnya didorong dan diberi insentif, dipermudah. Kalau sekarang kan biasa-biasa saja. Kalau itu ditambah insentif orang akan lebih tergerak,” cerita dia.

Dalam jangka panjang, Mauldy mengatakan tren reksa dana masih akan naik sejalan dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia, walaupun dalam jangka pendek ada pengaruh dari volatilitas tinggi.

“Dalam jangka panjang tetap trennya akan naik karena bagaimanapun negara-negara, termasuk Indonesia, akan mengatur ekonominya dengan baik, sehingga kinerja para emiten menjadi positif. Trennya akan membaik cuma memang dalam jangka waktu pendek banyak hal-hal yang membuat volatilitas jadi tinggi. Kalau kita melihat jangka waktu harusnya tahun ini harusnya memperlihatkan pertumbuhan,” tutupnya.

(tar/wep)

No more pages