Menelisik Pernyataan Kontroversial Purbaya
Peter F. Gontha
30 October 2025 11:31

|
Penulis: Peter F. Gontha Penulis Peter F. Gontha adalah pengamat masalah-masalah sosial dan ekonomi. Ia adalah mantan eksekutif Bimantara Citra dan pendiri event tahunan Java Jazz. |
Saya orang yang sangat mendukung Menkeu baru. Belakangan ini, publik ramai memperbincankan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Dalam komentarnya yang viral, ia mengatakan bahwa “masyarakat selalu membayar listrik dan energi secara tunai, sementara PLN dan Pertamina justru rugi.”
Kalau memang benar ini pernyataannya dan bukan hoax maka saya kecewa. Kalimat itu terdengar sederhana dan logis bagi masyarakat awam, tetapi sesungguhnya sangat menyesatkan. Sebagai pejabat publik dan ekonom, pernyataan seperti ini tidak hanya keliru secara logika ekonomi, tetapi juga memperburuk citra lembaga negara yang sedang berjuang memperbaiki kepercayaannya.
Baca Juga
Masyarakat memang bayar tunai — tapi Itu bukan masalahnya.
Pertama, tidak ada yang menyangkal bahwa masyarakat membayar listrik dan bahan bakar dengan uang tunai.
Setiap bulan orang membayar tagihan listrik PLN. Setiap kali mengisi BBM, mereka membayar di SPBU dengan uang atau kartu. Tidak ada yang berutang pada PLN atau Pertamina. Jadi, kalau Purbaya menegaskan bahwa “masyarakat selalu bayar cash,” itu bukan temuan ekonomi melainkan fakta umum yang terjadi di seluruh dunia.
Masalahnya bukan pada cara membayar, melainkan pada struktur harga dan kebijakan subsidi. Harga listrik dan BBM di Indonesia sebagian ditanggung negara agar tetap terjangkau. Artinya, rakyat memang membayar, tetapi tidak membayar penuh, karena negara ikut menanggung sebagian beban harga melalui subsidi dan kompensasi.
Inilah bentuk tanggung jawab sosial negara terhadap rakyatnya, bukan tanda kelemahan fiskal.
Kedua, kerugian PLN dan Pertamina tidak ada hubungannya dengan masyarakat membayar tunai atau tidak.
Kedua BUMN itu menjalankan fungsi sosial: menjaga kestabilan harga dan memastikan energi menjangkau seluruh pelosok negeri.
Di Papua, Maluku, atau NTT, biaya distribusi listrik dan BBM sangat tinggi, namun harga tetap disamakan dengan di Jawa.
Secara akuntansi, terlihat rugi — tetapi secara ekonomi dan sosial, mereka menjalankan mandat negara untuk keadilan sosial dan pemerataan pembangunan.
Pernyataan yang menyebut PLN dan Pertamina kok rugi sementara “masyarakat bayar cash” adalah penyederhanaan yang menyesatkan.
Kerugian mereka justru sering disebabkan oleh tata kelola yang belum bersih, kebocoran anggaran, dan praktik korupsi yang dilakukan oleh sebagian pejabat di dalamnya.
Inilah ironi sebenarnya: rakyat kecil membayar tagihan dengan disiplin, tapi sebagian pejabat justru mempermainkan uang negara di balik meja.
Jadi, sebelum menuding rakyat atau mekanisme subsidi, perbaikilah dulu moral dan integritas para pengelola BUMN dan lembaga keuangan negara.
Ketiga, gaya bicara seperti ini memang terdengar populis — mudah dipahami, seolah membela rakyat. Tapi justru karena itu berbahaya.
Pejabat publik sekelas Purbaya seharusnya tidak menyederhanakan isu kompleks dengan kalimat retoris yang menyesatkan.
Subsidi bukan bentuk kelemahan, melainkan alat kebijakan publik untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial.
Popularitas boleh saja tinggi, tapi popularitas bukan kebenaran.
Ekonom yang baik harus mendidik masyarakat dengan penjelasan yang benar — bukan sekadar memancing tepuk tangan media.
Ekonomi publik tidak bisa dipahami hanya dari neraca laba-rugi. Negara punya kewajiban sosial: melindungi rakyat, bukan memperkaya pejabat.
Subsidi energi adalah instrumen agar rakyat tidak terbebani lonjakan harga global. Jika PLN dan Pertamina dipaksa beroperasi murni untuk untung, maka listrik dan BBM akan melonjak dan rakyat kecil yang paling menderita.
Sayangnya, sebagian pejabat yang seharusnya mengawasi kebijakan ini malah terlibat dalam penyalahgunaan dan korupsi. Jadi yang perlu dikritik bukan rakyat, melainkan mental sebagian pejabat yang menjadikan uang publik sebagai alat kepentingan pribadi.
Purbaya Yudhi Sadewa, sebaiknya lebih berhati-hati dalam berbicara.
Kalimat sederhana tanpa konteks bisa menyesatkan jutaan orang dan menutupi masalah yang sebenarnya: bocornya integritas di dalam tubuh birokrasi.
Indonesia bukan negara yang tidak mampu bayar listrik. Indonesia adalah negara yang masih berani membayar kesejahteraan rakyatnya — meski di tengah kebocoran dan korupsi yang dilakukan sebagian pejabat.
DISCLAIMER
Opini yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap, kebijakan, atau pandangan resmi dari Bloomberg Technoz. Kami tidak bertanggung jawab atas keakuratan, kelengkapan, atau validitas informasi yang disajikan dalam opini ini.
Setiap pembaca diharapkan untuk melakukan verifikasi dan mempertimbangkan berbagai sumber sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan berdasarkan opini yang disampaikan. Jika terdapat keberatan atau klarifikasi terkait isi opini ini, silakan hubungi redaksi melalui contact@bloombergtechnoz.com
Tentang Z-ZoneZ-Zone merupakan kanal opini di Bloomberg Technoz yang menghadirkan beragam pandangan dari publik, akademisi, praktisi, hingga profesional lintas sektor. Di sini, penulis bisa berbagi ide, analisis, dan perspektif unikmu terhadap isu ekonomi, bisnis, teknologi, dan sosial. Punya opini menarik? |
(pfg)






















