Logo Bloomberg Technoz

Meneropong Kelanjutan Transisi Energi

Hafif Assaf
20 April 2023 10:34

Ilustrasi Energi (Dok. Pertamina Hulu Energi)
Ilustrasi Energi (Dok. Pertamina Hulu Energi)
Hafif Assaf merupakan lulusan Flinders University, South Australia dengan pengalaman profesional selama 18 tahun—mulai dari LSM, IGO, hingga Perusahaan Multinasional—

Pembicaraan terkait frasa 'transisi energi' kembali mengemuka beberapa waktu belakangan. Ini tidak dapat dilepaskan dari dua agenda berbeda yang dihadiri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di mancanegara dalam kurun waktu sepekan belakangan.

Pada Jumat (14/04/2023), Menko Luhut menemui Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat Untuk Iklim John Kerry di AS. Dalam pertemuan itu, Menko Luhut kembali mengingatkan AS perihal Just Energy Transition Partnership (JETP) US$ 20 miliar yang disepakati dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) di The Apurva Kempinski, Nusa Dua, Bali, 15-16 November 2022.

Dalam kesempatan itu, Menko Luhut menjelaskan kalau pada Februari 2022, Sekretariat JETP Indonesia telah diluncurkan di Jakarta. Sekretariat tersebut akan banyak bekerja sama dengan para pemangku kepentingan penting lainnya baik dari sektor pemerintahan maupun swasta.

"Kolaborasi ini nantinya akan merancang Rencana Investasi Komprehensif (CIP) yang mencakup berbagai hal mulai dari identifikasi portofolio program JETP seperti pensiun dini pembangkit listrik, pengembangan EBT dan peningkatan nilai rantai serta kebijakan kunci yang akan mempercepat implementasi program ini," kata Menko Luhut seperti dilihat di akun Instagram resminya, Senin (17/4/2023).

Menteri yang memiliki pengalaman paripurna dari background TNI itu lantas membeberkan kalau percepatan upaya transisi seperti penyebaran jalur transmisi dan jaringan, percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) (baseload dan VRE), dan peningkatan nilai rantai EBT (manufaktur EBT di Indonesia) adalah jalan yang akan ditempuh untuk segera mewujudkan berbagai target yang telah ditentukan secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut.

Hanya dua hari berselang, tepatnya di Hannover Congress Centrum, Hannover, Jerman, Minggu (16/04/2023), Presiden Jokowi menegaskan lagi komitmen pemerintah perihal transisi energi. Misalnya Indonesia menargetkan 23% sumber energi yang dihasilkan berasal dari EBT pada 2025, serta berencana untuk menutup seluruh pembangkit listrik tenaga uap batu bara di tahun 2050.

"Indonesia juga ingin memastikan bahwa transisi energi menghasilkan energi yang terjangkau bagi masyarakat kita," kata Presiden Jokowi seperti diberitakan situs resmi Sekretariat Kabinet, Senin (17/4/2023).

Lantas, bagaimana sebaiknya kita memaknai gebrakan Menko Luhut dan janji Presiden Jokowi terkait JETP dan pemensiunan dini PLTU batu bara tersebut?

RUU EBT Jadi Kunci

Bicara soal transisi energi, frasa itu memang populer dan mengemuka ketika gelaran KTT G20 tahun lalu. Puncaknya tatkala Indonesia dan sejumlah negara maju, termasuk AS, menyepakati JETP US$ 20 miliar, sesuatu yang dinilai sebagai pencapaian monumental Presidensi G20 Indonesia. 

Sekadar gambaran skema itu terdiri atas US$ 10 miliar (pendanaan publik dalam wujud pinjaman lunak dan hibah) dan US$ 10 miliar (pendanaan swasta di mana yang bertindak sebagai koordinator adalah Glasgow Financial Alliance for Net Zero). JETP akan digunakan untuk mendorong pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia serta investasi di sektor industri dan teknologi EBT.

Sebagai tindak lanjut, sebagaimana disampaikan Menko Luhut di awal tulisan ini, Sekretariat JETP telah terbentuk dan resmi berkantor di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Kamis (16/02/2023).

Keberadaan sekretariat itu diharapkan dapat mendukung pencapaian target JETP, salah satunya adalah menyelesaikan peta jalan pemensiunan dini PLTU batu bara, memobilisasi investasi, dan mendukung mekanisme pembiayaan yang dituangkan dalam CIP.

"Pendirian Sekretariat JETP merupakan tonggak penting. Sekretariat ini akan mengelola pelaksanaan sehari-hari transisi energi Indonesia menuju rendah karbon yang berkelanjutan, adil, dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujar Deputi Bidang Koordinasi Infrasturktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin dalam keterangan tertulis, Jumat (17/2/2023).

Senada, penulis merespons positif tindak lanjut pemerintah yang telah membentuk Sekretariat JETP. Namun, pemerintah perlu memastikan agar target-target JETP, termasuk pembuatan road map pemensiunan dini PLTU batu bara, dapat tuntas sesuai waktu yang disepakati, yakni enam bulan sejak sekretariat terbentuk.

Akan tetapi, terlepas dari pembentukan Sekretariat JETP, penulis menekankan agar peraturan utama untuk mendukung transisi energi secara nasional harapannya segera dituntaskan, yaitu RUU EBT. Seperti diketahui, Rapat Paripurna DPR RI pada 13 April 2023, telah memutuskan memperpanjang waktu pembahasan RUU tersebut.

Salah satu pemicu utama perpanjangan waktu pembahasan RUU EBT antara pemerintah dan DPR RI adalah skema pemanfaatan bersama jaringan listrik antara PT PLN (Persero) dan pembangkit swasta (power wheeling) yang masih diperdebatkan. Skema itu dinilai mampu memudahkan transfer energi listrik dari sumber EBT atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan via jaringan transmisi kepunyaan PLN.

Kita berharap tentu pada masa sidang berikut selepas masa reses kali ini, titik temu dapat diperoleh antara pemerintah dan DPR. Sehingga harapannya RUU EBT dapat segera terselesaikan tahun ini dan diharapkan dapat menjadi basis keberlanjutan JETP.

Pemensiunan Dini PLTU Batu Bara

Bicara soal JETP dan pemensiunan dini PLTU batu bara bagai dua sisi mata uang. Keduanya saling terkait erat antara satu dengan yang lainnya.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi telah menyampaikan tekad pemerintah mempercepat pensiun dini PLTU batu bara. Termasuk kala berbicara di Hannover Congress Centrum, Hannover, Jerman, Minggu (16/04/2023), dalam gelaran Hannover Messe.

Penulis menyarankan agar penyusunan road map pemensiunan dini PLTU batu bara melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Tidak hanya pemerintah, melainkan juga pengusaha, pekerja, hingga akademisi, sehingga peta jalan yang lahir komprehensif sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Listrik.

Sekadar gambaran, dalam beleid itu, tidak boleh ada lagi pembangunan PLTU baru kecuali sudah ada di RUPTL sebelum perpres disahkan dan captive power (sudah ada pemakainya, semisal kawasan industri).

Apalagi, keberadaan PLTU batu bara memiliki efek signifikan terhadap kebutuhan listrik tanah air. Dengan persentase 50% dari total pembangkitan listrik di tanah air.

Kementerian ESDM pernah mengungkapkan kalau 33 PLTU batu bara akan dipensiunkan dengan total kapasitas 16,8 gigawatt (GW) di mana sebagai awalan 5,52 GW PLTU akan dipensiunkan hingga 2030. Demikian disampaikan para petinggi kementerian itu beberapa waktu lalu.

Hal yang tidak kalah penting adalah jangan sampai lebih dari 100 ribu pekerja dalam industri batu bara, belum termasuk yang bekerja di PLTU, terdampak kebijakan pemerintah yang sejatinya mulia tersebut.

Pemerintah juga perlu memastikan para pengusaha pemilik PLTU batu bara tidak terhantam. Berikan waktu yang cukup bagi mereka untuk melakukan transisi bisnis energi ke arah energi ramah lingkungan serta memberikan kompensasi dan insentif yang setimpal agar appetite mereka berinvestasi tidak surut ke depannya.

(haf)

Artikel Terkait