Logo Bloomberg Technoz

“Pasti lah mas, bisa setengahnya karena mungkin pas ada kabar itu [pemusnahan], pembeli mikir kalau kita [pedagang] nggak jualan lagi, jadi sepi. Mereka pada nggak datang lagi ke sini. Biasanya datang. Nggak tahu mas, udah bingung saya. Nggak ada cara lain,” papar dia.

Efek sepinya pembeli, membuat Fajar berpikir keras agar omzet jualannya kembali seperti semula. Setiap akhir pekan, per harinya Fajar biasa mengumpulkan Rp 4 juta-Rp 6 juta dari hasil jualan pakaian bekas impor. Saat ini hanya tersisa Rp 2 juta-Rp 3 juta.

“Pendapatan harian jelas turun, ini sekarang berkurang jauh, ya setengahnya,” ucap Fajar. Sebagai pedagang ia hanya bisa ikut kebijakan pemerintah meski ada sedikit rasa kecewa.

“Kalaupun dihilangkan sayang, banyak yang kecewa. Pelanggan juga pada kecewa.  Kadang mereka yang ke sini itu juga bukan cuma beli satu atau dua saja, tapi kodian dan dia jual lagi. Mereka ngidupin keluarga lewat situ juga. Dampaknya parah,” kata Fajar.

Para pedagang pakaian bekas impor di Pasar Senen, Jakarta, masih berharap ada solusi yang lebih adil untuk seluruh masyarakat. Tidak hanya pelaku industri garmen dalam negeri, tapi juga mereka sebagai pedagang.

“Saya sih maunya pemerintah janganlah buat kebijakan kayak gini. Masa itu yang impor berapa persen dari China dibolehin, giliran ini nggak. Kalau katanya buat ngembangin industri tekstil lokal dan UMKM, ya ngapain impor juga kan, itu buktinya,” ungkap Rifan.

“Kalau bisa jangan [penutupan aktivitas belanja pakaian bekas impor]. Harusnya sama-sama dibikin adil. Kalaupun berapa persen nggak boleh impor, produk-produk yang dari dalam negeri harusnya dibikin banyaklah. Tapi harapan saya ya dibalikin kayak dulu lagi aja. Kalau mau diilegalin, ilegalin sekalian semuanya [termasuk impor dari China],” pungkas Fajar.

(wep)

No more pages