Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom menilai rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sekilas masih berada dalam batas aman. Namun, jika dilihat rasio pembayaran cicilan utang terhadap penerimaan negara, dan penerimaan ekspor, maka situasinya tampak lebih serius.
"Debt to Service Ratio (DSR) Indonesia pada kuartal IV 2024 sudah sekitar 40%. Jauh di atas standar dunia yang sekitar 30%. Lalu, rasio beban cicilan utang 2024 terhadap pendapatan negara, hingga 2024 mencapai 17%. Negara-negara lain biasanya di bawah 10%," kata Pengamat Ekonomi SigmaPHI Indonesia Hardy R Hermawan kepada Bloomberg Technoz, Kamis (17/4/2025).
Menurut dia, dampak utang pada sektor swasta dan BUMN juga perlu diperhatikan. Khususnya jika terjadi pelemahan rupiah. Lalu, pertumbuhan utang yang cepat juga dapat mengurangi kapasitas anggaran pemerintah untuk belanja sosial dan infrastruktur.
"Karena sebagian besar anggaran harus di alokasikan untuk pembayaran utang. Ketergantungan pada utang luar negeri juga membuat Indonesia rentan terhadap gejolak eksternal," sebutnya.
Kemudian, ULN sektor swasta juga tak kalah mencemaskan dibandingkan utang pemerintah. Dirinya menyebut, banyak perusahaan Indonesia berutang dalam dolar AS, tetapi pendapatannya dalam rupiah, sehingga menciptakan risiko ketidaksinkronan valuta asing atau currency mismatch.
"Jika rupiah melemah, beban utang dalam dolar semakin besar, yang dapat menekan profitabilitas perusahaan dan mengurangi investasi. Tapi, ULN pemerintah juga cukup membebani anggaran negara, terutama jika tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara dari pajak atau ekspor," tambahnya.
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) mengatakan Utang Luar Negeri (ULN) pada Februari 2025 menurun. Di Februari posisi ULN Indonesia tercatat sebesar US$427,2 miliar. Angka itu turun dibandingkan dengan posisi ULN pada Januari 2025 sebesar US$427,9 miliar.
Diketahui, posisi ULN swasta pada Februari 2025 tercatat stabil pada kisaran US$194,8 miliar. Secara tahunan, ULN swasta mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 1,6% yoy lebih dalam dari kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 1,3% yoy.
Perkembangan ULN swasta tersebut bersumber baik dari lembaga keuangan (financial corporations) maupun perusahaan bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporations), yang masing-masing terkontraksi sebesar 2,2% (yoy) dan 1,5% yoy.
Berdasarkan sektor ekonomi, ULN swasta terbesar berasal dari sektor industri pengolahan, jasa keuangan dan asuransi, pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin.
Kemudian, pertambangan dan penggalian, dengan pangsa mencapai 79,6% dari total ULN swasta. ULN swasta juga tetap didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,5% terhadap total ULN swasta.
Direktur Eksekutif Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso mengatakan, struktur ULN Indonesia tetap sehat dengan didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
"Terlihat dari penurunan rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 30,2% pada Februari 2025, dari 30,3% pada Januari 2025, serta dominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 84,7% dari total ULN," kata Ramdan dalam keterangannya, Kamis (17/4/2025).
Kata Ramdan, BI dan pemerintah melakukan serta memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Selain itu, peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
"Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," sebutnya.
(lav)