"Kemudian bahwa dalam keadaan di mana pemberian kredit tidak dilakukan dengan cara tadi, kehati-hatian, harus ada syarat-syarat yang dipenuhi, tetapi ini diabaikan oleh pemberi kredit," tegasnya.
Salah satunya, ungkap Qohar, mereka mengabaikan rating kredit yang diberikan Fitch dan Moody’s kepada PT Sritex. Kedua lembaga pemeringkat tersebut memberikan rating BB- terhadap PT Sritex atau disebut memiliki risiko gagal bayar yang lebih tinggi.
Dalam hal ini, Qohar menegaskan bahwa pemberian kredit tanpa jaminan seharusnya hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang memiliki predikat rating A.
"Sehingga, perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan Standar Operasional Prosedur Bank serta Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sekaligus menerapkan prinsip kehati-hatian," ucap Qohar.
Oleh sebab itu, kredit yang diberikan oleh Bank BJB dan Bank DKI tersebut akhirnya berstatus macet dengan kolektibilitas 5 dan aset perusahan tidak dapat dieksekusi untuk menutupi nilai kerugian negara karena nilainya lebih kecil dari total nilai pemberian pinjaman kredit, serta tidak dijadikan jaminan.
Khusus pada kasus kredit Bank BJB dan Bank DKI, ketiga tersangka dituduh menyebabkan negara mengalami kerugian hingga Rp692 miliar. Adapun, nilai kerugian negara tersebut didapat dari total kredit yang belum dituntaskan per Oktober 2024 senilai Rp3,58 triliun.
"Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap DS, kemudian terhadap ZM, dan terhadap ISL, pada hari ini, Rabu tanggal 21 Mei tahun 2025, penyidik Jampidsus menetapkan tiga orang tersebut sebagai tersangka karena ditemukan alat bukti yang cukup telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten serta PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk," tegas Qohar.
(azr/ros)