Bloomberg Technoz, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengangkat mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden di Bidang Penerimaan Negara. Hal ini mengacu pada isi Keputusan Presiden (Keppres) No.45/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara.
"Mengangkat Dr. Drs. Hadi Poernomo, S.H., Ak., CA., M.B.A., sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Badan Penerimaan Negara dan kepada yang bersangkutan diberikan hak keuangan dan fasilitas lainnya setinggi-tingginya setingkat dengan jabatan menteri," bunyi Keppres No. 45/2025 dikutip Minggu (18/5/2025).
Akan tetapi, hingga saat ini, Prabowo memang belum melantik Hadi seperti para staf khusus dan utusan khusus presiden lainnya. Istana juga belum ada konfirmasi pelantikan tersebut akan terjadi dalam waktu dekat karena presiden sendiri masih dalam kegiatan kunjungan kerja luar negeri di Thailand.
Sedangkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memilih untuk menunggu pengumuman resmi dari kepresidenan. Dia memastikan, Hadi masih bertugas di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian sebagai staf khusus salah satu staf ahli di lembaga tersebut.
Lantas, siapa sebenarnya Hadi Poernomo dan bagaimana rekam jejaknya sebagai pejabat di Indonesia?
Hadi lahir di Pamekasan, 21 April 1947. Dia mengenyam pendidikan di antaranya di Akademi Ajun Akuntan Pajak Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta (1969) dan Institut Ilmu Keuangan Jurusan Akuntansi Departemen Keuangan (1973).
Dia memulai karir sebagai pegawai pajak di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 1965 sebagai pegawai negeri. Dia kemudian mulai menjadi pemeriksa pajak pada 1966.
Hadi lalu menjabat pemeriksa pajak di Kantor Pusat Ditjen Pajak pada 1987. Pada 1998, dia diangkat menjadi Kepala Subdirektorat Penyidikan Pajak pada Ditektorat Pemeriksaan Pajak Jakarta.
Kariernya semakin moncer ketika menjabat sebagai Direktur Pemeriksaan Pajak Ditjen Pajak Kemenkeu pada 2000 dan dilanjutkan sebagai Dirjen Pajak pada 2001–2006. Pada 2009, Hadi terpilih menjadi Ketua BPK periode 2009–2014.
Sempat jadi tersangka KPK
Pada tahun yang sama Hadi menyelesaikan jabatannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait dengan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA.
Dia terbukti terlibat dalam praktik korupsi terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia senilai Rp5,7 triliun pada 1999. Dia diduga mengubah keputusan sehingga menimbulkan kerugian negara hingga Rp375 miliar.
Namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Hadi atas penetapannya sebagai tersangka pada Mei 2016. Usai putusan tersebut, KPK sempat mengklaim akan kembali menyematkan status tersangka pada Hadi, namun hal tersebut tak kunjung terjadi.
LHKPN Terakhir
Mengutip Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara elektronik (e-LHKPN) yang dilihat dari laman KPK, Hadi terpantau terakhir kali menyerahkan dokumen tersebut sekitar 10 tahun yang lalu atau menjelang dirinya lengser dari kursi Ketua BPK.
Hadi pertama kali menyampaikan jumlah hartanya ketika menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yaitu sebesar Rp 12.119.379.000 per 6 Juli 2001.
Selanjutnya, dia kembali menyerahkan LHKPN dengan total mencapai Rp 26.625.814.000 per 14 Juni 2006. Dia juga melaporkan jumlah kekayaannya ketika menjadi Ketua BPK, dengan nominal sebesar Rp 38.800.979.805 per 9 Februari 2010.
Hadi terakhir kali menyerahkan LHKPN pada 20 Juni 2014. Pada saat itu, dia melaporkan total harta dan kekayaannya justru menurun selama menjadi pimpinan BPK. Saat itu, dia melaporkan jumlah kekayaannya turun menjadi Rp 37.092.266.445.
(mfd/frg)