Proyeksi dari Bank Dunia yang hanya mencapai 11,9% terhadap PDB pada 2025 turun dibanding estimasi 12,8% terhadap PDB pada 2024.
Dalam laporan bertajuk Macro Poverty Outlook per April 2025, Bank Dunia memproyeksikan rasio penerimaan negara Indonesia akan meningkat menjadi 12,3% terhadap PDB pada 2026 dan 12,4% terhadap PDB tahun 2027.
Namun, angka itu masih di bawah target yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto sebesar 23%. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025-2029. Beleid itu diteken Prabowo pada Senin (10/2/2025).
Dalam laporan yang sama, Bank Dunia juga menyoroti rasio penerimaan negara Indonesia sebesar 12,7% terhadap PDB pada 2024 merupakan yang terendah di antara negara berpendapatan menengah lainnya.
"Penerimaan pajak yang hilang diperkirakan mencapai 6,4% dari PDB. [Upaya] Menutup kesenjangan [pajak] ini akan memperluas ruang fiskal untuk mendanai Visi Indonesia Emas 2045," sebagaimana termaktub dalam laporan tersebut, dikutip Sabtu (26/4/2025).
Melalui laporan tersebut, Bank Dunia mencatat rasio penerimaan negara Indonesia berada dalam tren penurunan sejak 2023. Sebagai gambaran, Bank Dunia menghitung rasio penerimaan negara Indonesia sebesar 13,5% terhadap PDB pada 2022. Namun, angkanya turun menjadi 13,3% terhadap PDB pada 2023.
Estimasi Bank Dunia untuk rasio penerimaan negara Indonesia kembali turun menjadi 12,8% pada 2024 dan proyeksi 11,9% terhadap PDB pada 2025. Rasio penerimaan negara Indonesia diproyeksikan akan mencatatkan tren peningkatan pada 2026 dan 2027.
Bank Dunia menggarisbawahi pemerintah merevisi keputusannya untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2025, dan memilih untuk mengoptimalkan anggaran melalui pemotongan sebagian belanja.
"Pemotongan ini dialihkan ke program-program prioritas dan pembentukan dana kekayaan negara baru atau Danantara, dengan tetap menjaga netralitas belanja secara keseluruhan."
Namun, Bank Dunia mengatakan penerimaan pajak mengalami kontraksi sebesar 0,4 poin persentase, mencapai 1,1% dari PDB pada Februari di tengah harga komoditas yang menurun dan gangguan teknis dalam Sistem Administrasi Pajak Inti atau Coretax. Hal ini menyebabkan defisit fiskal sebesar 0,1% dari PDB selama periode ini.
(lav)





























