Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan lima korporasi pengelola pabrik smelter bijih timah sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata kelola pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk (TINS) periode 2015-2022. Hal ini dilakukan untuk menagih tanggung jawab kerusakan lingkungan hidup atas praktek tambang timah ilegal yang tercatat mencapai Rp271 triliun.

“Perusahaan timah ada 5 korporasi yang akan kami jadikan dan hari ini akan diumumkan ya perkaranya hari ini diumumkan bahwa perkara ini dalam tahap penyidikan,” kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kamis (2/12/2024).

Lima perusahaan tersebut antara lain, PT Refined Bangka Tin (RBT); PT Stanindo Inti Perkasa (SIP); PT Sariwiguna Bina Sentosa (SB); CV Venus Inti Perkasa (VIP); dan PT Tinindo Inter Nusa (TIN). Para pejabat dan pemilik lima perusahaan ini telah lebih dulu menjadi tersangka.

Dalam kasus ini, kejaksaan berdasarkan bantuan perhitungan ahli lingkungan hidup serta badan pengawasan keuangan dan pembangunan menetapkan dugaan kerugian negara dari korupsi di IUP PT Timah Tbk mencapai Rp300,3 triliun. 

Sebesar Rp271 triliun di antaranya adalah kerusakan alam akibat tambang ilegal di wilayah Bangka Belitung. Sedangkan sisanya, diduga dinikmati perorangan termasuk 22 tersangka dalam kasus tersebut. Misalnya, Harvey Moeis dan Helena Lim yang dalam dakwaan diduga menikmati Rp420 miliar dari korupsi Timah.

Secara lebih detil, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Andriansyah mengatakan, PT RBT menjadi tersangka dan akan dijerat ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp38,5 triliun. PT SB akan diminta tanggung jawab sebesar Rp23,6 triliun; PT SIP sebesar Rp24 triliun; CV VIP sebesar Rp42 triliun; serta PT TIN sebesar Rp23 triliun.

Menurut dia, total ganti rugi kerusakan alam dari lima perusahaan tersebut memang baru mencapai Rp151,1 triliun. Atau, masih tersisa total kerugian negara dari rusaknya ekosistem di Bangka Belitung mencapai Rp119,9 triliun.

"Sisanya dari Rp271 triliun yang telah diputuskan hakim dan jadi kerugian negara sedang dihitung BPKP siapa yang bertanggung jawab akan kita tindak lanjuti dan disampaikan ke publik,” kata Febrie.

Lebih lanjut, dirinya mengatakan bahwa dalam kasus tersebut terdapat 3 klaster perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara yakni kerjasama sewa alat atau smelter dari pihak swasta dengan PT Timah, transaksi timah dari PT Timah yang dilakukan pihak swasta, serta kerugian lingkungan hidup atas kerusakan ekosistem.

Menurut dia, Jaksa telah sepakat bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup merupakan kerugian negara dalam kualifikasi tindak pidana korupsi. Dengan begitu, penyidik mengumpulkan bukti-bukti untuk menjerat korporasi terkait yang turut andil menyebabkan kerusakan lingkungan tersebut.

“Hasil ekspose Jaksa Agung memutuskan kerugian kerusakan lingkungan hidup akan kita bebankan ke perusahan-perusahaan sesuai kerusakan yang ditimbulkan masing-masing perusahaan dan itu sudah ada dalam putusan pengadilan,” tutur Febrie.

Hingga saat ini, sebanyak sembilan tersangka kasus korupsi timah telah menjadi terdakwa dan menerima vonis dari pengadilan. Mereka adalah perwakilan PT Refined Bangka Tin, Harvey Moeis; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta; Direktur Pengembangan PT Refined Bangka Tin, Reza Andriansyah; eks Direktur Utama PT Timah Tbk, Mocthar Riza Pahlevi Tabrani; dan eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk, Emil Ermindra. 

Selain itu, beneficiary owner PT Stanindo Inti Perkasa, Suwito Gunawan; Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa, MB Gunawan; Direktur Sariwiguna Binasentosa, Robert Indarto; General Manager Operasional PT Tinindo Internusa, Rosalina; dan Manager PT Quantum Skyline Exchange, Helena Lim.

(azr/frg)

No more pages