Logo Bloomberg Technoz

Aturan itu juga perlu mengatur mekanisme pengembalian bijih timah dari tambang ilegal yang berada dalam IUP perusahaan. 

"Nah, ini untuk pengaturan bagaimana produksi biji kita agar menemukan titik stabil dan konsisten, karena ini penting. Implikasinya kepada global demand and supply, bagaimana produksi PT Timah ini bisa dirasa punya konsistensi," ujarnya.

Kedua, percepatan penerbitan peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang Minerba yang mendukung perbaikan tata kelola serta tata niaga pertimahan. Menurutnya, regulasi tersebut diperlukan untuk mendukung penetapan timah sebagai mineral kritis strategis, sekaligus memperkuat agenda hilirisasi. 

Ketiga, pembinaan dan legalisasi aktivitas penambangan rakyat di dalam IUP PT Timah sesuai ketentuan yang berlaku, antara lain melalui pola kerja sama dengan koperasi. 

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Harwendro Adityo Dewanto menyarankan sejumlah kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah demi memberantas pertambangan timah ilegal. 

Dia mengatakan praktik tambang ilegal merupakan masalah kompleks yang merusak lingkungan dan merugikan negara. Untuk itu, penanggulangannya memerlukan transformasi tata kelola yang komprehensif dan tidak bisa hanya mengandalkan satu aspek saja. 

Dari aspek regulasi, dia menyarankan pemerintah mengkaji ulang izin usaha pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan. Hal ini guna memastikan IUP yang aktif berproduksi sesuai ketentuan dan yang tidak aktif. Namun, masih memegang izin, untuk meminimalisir pertambangan ilegal yang dilakukan pemilik IUP bodong. 

Kemudian, pemerintah juga bisa melakukan legalisasi pertambangan rakyat melalui percepatan penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR). Hal ini agar aktivitas tambang timah rakyat menjadi legal, termonitor, dan bertanggung jawab. 

"Kami mendorong wilayah penambangan rakyat yang diberikan izin melalui izin penambangan rakyat yang nantinya itu akan dikelola oleh koperasi," ujarnya. 

Tak hanya itu, dia juga mendorong pemerintah menerapkan skema kemitraan yang jelas antara penambang rakyat dengan pemegang IUP yang bertindak sebagai 'bapak angkat'.  

AETI juga mendorong penetapan harga patokan mineral (HPM) untuk timah serta menegakan kewajiban reklamasi dan pascatambang yang ketat bagi pemegang IUP. 

"Alhamdulillah, saat ini sedang ada rapat, sedang kita dorong adanya HPM ini yang sudah bisa direalisasikan sehingga permasalahan ini, permasalahan tata kelola pertimahan ke depannya akan jauh lebih baik," imbuhnya. 

Sementara itu, dari aspek nonregulasi, AETI mendorong penegakan hukum yang konsisten oleh aparat untuk kasus pertambangan dan penyelundupan timah ilegal.

Kemudian, diversifikasi ekonomi guna mengurangi ketergantungan masyarakat dari sektor timah melalui pengembangan dari sektor alternatif yang berkelanjutan seperti pariwisata, pertanian, hingga perikanan. 

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengungkap praktik tambang ilegal timah di wilayah Bangka Belitung telah merugikan negara hingga Rp300 triliun. Angka ini berasal dari perhitungan potensi kerugian negara dari praktik ilegal enam perusahaan smelter di wilayah tersebut.

"Kita bisa bayangkan kerugian negara dari enam perusahaan ini aja; kerugian total potensi Rp300 triliun. Kerugian negara udah berjalan Rp300 triliun. Ini kita hentikan," kata Prabowo, Agustus. 

Prabowo juga pernah mengatakan pemerintah bakal memberi ruang bagi masyarakat untuk bisa melakukan penambangan secara legal lewat bentuk koperasi. Menurut Prabowo, akses itu bisa memberi kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.

“Kalau rakyat yang nambang ya sudah kita bikin koperasi kita legalkan, tetapi jangan alasan rakyat tahu-tahu nyelundup ratusan triliun,” kata Prabowo dalam pidato kenegaraan di hadapan Sidang Tahunan MPR 2025.

Sekadar catatan, Kementerian ESDM sempat melaporkan bahwa jumlah WPR yang telah ditetapkan sebanyak 1.215 lokasi dengan total luas wilayah mencapai 66.593,18 ha per awal 2024.

Hanya saja, IPR yang telah diterbitkan Kementerian ESDM saat itu baru mencapai 82 WPR dengan luas mencapai 62,31 ha. Adapun, sepanjang 2023 Kementerian ESDM mencatat terdapat 128 laporan pertambangan tanpa izin (PETI). 

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno, dalam paparannya di Komisi XII DPR RI akhir tahun lalu, menjelaskan Sumatra Selatan menjadi provinsi yang paling banyak memiliki laporan PETI, yakni mencapai 26 laporan.

Riau menjadi provinsi kedua yang paling banyak memiliki laporan PETI, yakni 24. Posisi ketiga ditempati oleh Sumatra Utara yang memiliki 11 laporan.

(mfd/wdh)

No more pages