Helmy menilai, langkah tersebut penting untuk meredam keresahan. “Tindakan cepat pemerintah dalam mengumumkan reformasi di parlemen menjadi sinyal positif bagi stabilitas. Namun, ke depan, konsistensi implementasi akan sangat menentukan,” ujarnya.
Sementara itu, sektor bisnis menyuarakan keprihatinan. Ketua Umum Kadin Anindya Bakrie menekankan perlunya dialog, sedangkan HIPPINDO mendesak pemerintah memperkuat pengamanan agar aktivitas perdagangan tidak terganggu.
Isu pajak juga memicu keresahan. Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mengungkapkan ada 104 daerah yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dengan 20 di antaranya melonjak lebih dari 100 persen.
Helmy memperingatkan, beban pajak harus diimbangi dengan manfaat nyata. “Moderasi momentum ekonomi bisa memperburuk persepsi publik bila kerangka pajak dianggap membebani, apalagi jika tidak disertai peningkatan belanja publik yang terasa,” katanya .
Pasar keuangan langsung merespons. IHSG pada 29 Agustus sempat turun lebih dari 2 persen intraday, sementara rupiah melemah mendekati Rp16.500 per dolar AS. Meski begitu, obligasi pemerintah 10 tahun bertahan di 6,32 persen.
“Sejarah menunjukkan, gejolak politik biasanya direspons cepat oleh pasar dan efeknya sementara. Investor lebih mencermati fundamental ekonomi ketimbang dinamika jangka pendek,” jelas Helmy .
Dalam RAPBN 2026, pemerintah menargetkan penerimaan negara naik 9,8 persen, dengan pajak berkontribusi 75 persen. Helmy menekankan arah kebijakan itu perlu hati-hati. “Jalan konstruktif adalah memperluas basis pajak, memperkuat kepatuhan, dan memastikan belanja publik lebih inklusif. Dengan begitu, penerimaan yang lebih besar bisa benar-benar menjadi fondasi stabilitas,” katanya
Dengan kombinasi reformasi politik, disiplin fiskal, dan respons cepat pemerintah, peluang pemulihan dinilai terbuka lebar. “Restorasi stabilitas bukan hanya soal meredam gejolak, tapi juga membangun kembali kepercayaan publik dan investor,” tutup Helmy.
(red)






























