Logo Bloomberg Technoz

Dalam persidangan, Haris dan Fatia memprotes surat Luhut tersebut. Keduanya meragukan Luhut tak bisa hadir di persidangan karena sedang berada di luar negeri. Mereka juga menolak permintaan Luhut untuk memindahkan persidangan yang selalu jatuh pada Senin menjadi Kamis.

Haris dan Fatia pun menuding jaksa dan hakim tak independen karena menuruti permintaan Luhut. Padahal, menurut keduanya, lembaga peradilan harusnya memiliki martabat yang lebih tinggi sehingga seluruh pihak dalam sebuah perkara harus tunduk pada agenda yang sudah ditetapkan. 

"Tidak ada istilah Jaksa mengikuti agenda saksi. Namun, saksi yang mengikuti agenda persidangan. Sehingga hal tersebut tidak dapat dibolak-balikan," kata Ketut.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana memang menuruti permintaan Luhut untuk menunda persidangan tersebut. Majelis berdalih, kesaksian Luhut cukup krusial dalam penentuan kasus tersebut. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan. (Al Drago/Bloomberg)

Laporan Jaksa Berbohong

Haris dan Fatia melaporkan lima jaksa penuntut umum dengan nama Yanuar Adi Nugroho, Dwi Antoro, Arya Wicaksana, Septy Sabrina, dan Gandara. Dalam laporan ke Komisi Kejaksaan, para jaksa dituduh melanggar Pasal 5 huruf e Jaksa Agung RI Nomor PER-014/A/JA/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa.

Kedua aktivis ini pun menyerahkan sejumlah bukti termasuk rekaman suara pada JPU yang menyebut Luhut tak bisa hadir karena berada di luar negeri. Bukti lainnya, mereka menyampaikan sejumlah tangkapan layar unggahan Instagram para menteri yang menunjukkan Luhut berada di Indonesia pada hari persidangan.

Mereka juga menyertakan bukti berupa tautan berita media massa yang menampilkan Luhut menghadiri sejumlah acara di Jakarta. Semua bukti menunjukkan Luhut sedang berada di Indonesia namun tak mau datang ke pengadilan.

(frg)

No more pages