Jonathan Tirone - Bloomberg News
Bloomberg, Laporan dari Defense Intelligence Agency (DIA), badan intelijen Pentagon, mengatakan serangan udara AS pada akhir pekan lalu kemungkinan tidak menghancurkan komponen inti program nuklir Iran di bawah tanah, termasuk sentrifuganya. Temuan ini bertentangan dengan klaim Donald Trump bahwa fasilitas pengayaan uranium Iran telah "hancur total."
Misteri terbesar yang masih belum terpecahkan hingga kini: di mana lokasi uranium Teheran yang hampir setara dengan bom itu?
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengaku bahwa hanya dalam lima hari setelah perang dimulai, para inspekturnya kehilangan jejak 409 kg uranium Iran yang sangat diperkaya—cukup untuk 10 hulu ledak nuklir jika Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei memutuskan untuk mengembangkan senjata nuklir.
Menurut perkiraan yang diterbitkan regulator AS, stok tersebut bisa disimpan dalam 16 silinder dengan tinggi 36 inci (91,4 cm) atau sekitar ukuran tangki selam skuba besar. Setiap silinder akan berbobot kira-kira 25 kg—cukup ringan untuk dibawa ke lokasi rahasia dengan berjalan kaki atau di bagian belakang kendaraan kecil.

Bahkan jika Israel dan AS benar-benar telah menghancurkan infrastruktur pengayaan uranium Iran di masa depan—dan bukti hingga saat ini tak jelas—risikonya adalah uranium yang sudah mendekati tingkat senjata bisa disembunyikan secara permanen.
Direktur Jenderal IAEA Rafael Mariano Grossi mengaku masih optimis bahwa gencatan senjata yang berkelanjutan bisa membuka jalan untuk kembali dibukanya perundingan tentang program nuklir Iran dan kembalinya para inspekturnya.
"Perlu menghentikan permusuhan agar kondisi keamanan dan keselamatan yang diperlukan bisa terpenuhi, sehingga Iran bisa membiarkan tim IAEA masuk ke lokasi untuk menilai situasi," kata Grossi dalam sesi darurat dewan pengawas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin.
Lokasi bahan bakar nuklir Iran yang tidak diketahui menyoroti sifat berisiko tinggi dari keputusan Israel untuk mengambil tindakan militer terhadap Republik Islam hampir dua pekan lalu, sebuah keputusan yang dibuat setelah lima kali perundingan antara AS dan Iran gagal menghasilkan kesepakatan.
Sebelum Israel menyerang Iran, pemantau IAEA secara teliti memantau persediaan uranium yang dilaporkan Iran, memeriksa lebih dari satu lokasi setiap hari untuk memastikan material tersebut tercatat dengan benar dan tidak digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir.
Namun, serangan Israel pada 13 Juni memaksa Iran memindahkan material tersebut ke fasilitas yang tidak dilaporkan—bahkan sebelum AS ikut serta dalam teknologi pengeboman yang lebih canggih pada akhir pekan lalu.
Meski Grossi telah meminta Republik Islam untuk memberi tahu inspekturnya tentang lokasi baru tersebut, tidak ada jaminan mereka akan diberikan akses, terlepas dari apakah gencatan senjata akan bertahan lama atau tidak.

Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran pekan ini menyetujui garis besar rancangan undang-undang (RUU) yang mewajibkan pemerintah menangguhkan kerja samanya dengan IAEA.
Artinya, Iran harus menghentikan seluruh interaksi dengan badan pengawas nuklir tersebut "sampai keamanan fasilitas nuklir negara terjamin," menurut Mizan, kantor berita resmi Iran.
Para pemimpin Iran mengkritik IAEA karena gagal memperjuangkan hak-haknya berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT)—perjanjian internasional dasar yang ditandatangani setengah abad lalu untuk mencegah penyebaran senjata nuklir.
Perjanjian tersebut memberikan akses kepada negara-negara penandatangan, seperti Iran ke teknologi nuklir dengan syarat mereka tidak berusaha membuat senjata nuklir.
Karena sebagian besar teknologi tersebut memiliki kegunaan ganda—dapat digunakan untuk keperluan sipil maupun militer—perjanjian tersebut memberikan wewenang kepada IAEA untuk memastikan bahan nuklir digunakan secara tepat.
Pada Senin, Utusan IAEA di Teheran, Reza Najafi, mengatakan integritas perjanjian tersebut telah mendapat "pukulan yang tak bisa diperbaiki" akibat keputusan Israel dan AS mengebom fasilitas nuklir Iran, bukan melanjutkan pembicaraan mengenai solusi diplomatik.
"Kerangka kerja NPT yang ada sudah tidak efektif," kata Najafi kepada wartawan.
Bahkan jika hubungan hukum dan politik antara Iran dan inspektur badan tersebut tidak memburuk akibat aksi militer—meski memang terjadi—serangan terhadap fasilitas nuklir membuat pemantauan menjadi jauh lebih sulit.
Fasilitas Fordow, Isfahan, dan Natanz—yang menjadi sasaran serangan bom jet tempur Israel dan AS selama 12 hari terakhir tanpa henti—dipenuhi dengan kontaminasi kimia dan radiologis lokal, yang kemungkinan besar membuat alat verifikasi utama tidak efektif.
Dan cadangan uranium yang diperkaya tinggi masih belum diketahui.
(bbn)