Kedaulatan AI untuk Indonesia: Menghindari "Monopoli Kecerdasan"
Pandu Sastrowardoyo
11 June 2025 07:03

Pandu Wisaksono Sastrowardoyo adalah advisor MWX AI, peneliti AI sejak 2008, dan Direktur di Blocksphere.id, perusahaan konsultan teknologi yang telah menangani puluhan proyek strategis di bidang blockchain, AI, dan transformasi digital untuk sektor publik dan swasta. Ia juga merupakan pendiri DeBio.Network, Myriad.Social, dan RealityChain.io. Pandu aktif mendorong adopsi teknologi berbasis kedaulatan data dan menjadi anggota Dewan Etik Asosiasi Blockchain Indonesia. |
Kecerdasan Buatan (AI) telah dengan cepat berkembang dari konsep futuristik menjadi realitas sehari-hari yang tidak terelakkan, memicu antusiasme yang terus bertambah dari berbagai kalangan, mulai dari pelaku industri hingga masyarakat umum. Setiap hari, kita disuguhi berbagai model GPT terbaru, inovasi revolusioner, dan janji-janji besar tentang bagaimana teknologi ini akan mengubah masa depan secara radikal. Namun di balik gelombang antusiasme ini, tersimpan sebuah pola berulang yang sebenarnya sudah cukup akrab dalam dunia teknologi: konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir perusahaan besar yang dengan cepat memperkuat dominasi korporasi, menciptakan dinding eksklusivitas yang tinggi dan sulit ditembus dalam pengembangan serta distribusi teknologi kecerdasan digital.
Saya telah terlibat secara mendalam dalam dunia AI sejak tahun 2007, jauh sebelum teknologi ini menjadi populer seperti sekarang. Perjalanan saya dimulai waktu kuliah, dari membangun sistem pakar awal untuk menulis laporan AMDAL. Kemudian, saya menciptakan chatbot yang viral di tahun 2011, dan bahkan menjalankan berbagai large language model (LLM) secara mandiri di komputer pribadi, menggunakan model GPT generasi awal, sebelum nama ChatGPT muncul ke permukaan dan dikenal secara luas. Pengalaman saya bekerja di IBM juga memberikan wawasan berharga bahwa arah perkembangan teknologi kecerdasan buatan akan tak terhindarkan menuju sentralisasi dan dominasi korporasi, sebuah tren yang kini semakin nyata dan terasa dampaknya.
Indonesia khususnya perlu memperhatikan situasi ini dengan serius. Sebagai negara dengan populasi besar dan perkembangan teknologi digital yang sangat cepat, ketergantungan terhadap platform-platform AI terpusat bisa membawa konsekuensi yang besar dalam aspek ekonomi, sosial, dan bahkan kedaulatan digital nasional. Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk secara aktif mengeksplorasi alternatif AI yang lebih terbuka dan desentralisasi demi menjaga kemandirian teknologi dan inovasi lokal.

Namun perlu juga diingat bahwa tidak semua organisasi perlu menggunakan model AI berskala besar. Kita harus mampu menyesuaikan penggunaan AI dengan kebutuhan yang sebenarnya. Akan menjadi hal yang tidak efisien jika sebuah perusahaan hanya membutuhkan analisis sentimen sederhana tetapi justru menjalankan model chatbot skala besar secara lokal. Pendekatan yang tepat guna dan tepat skala harus menjadi bagian dari strategi adopsi AI, agar sumber daya—baik teknis maupun finansial—dapat digunakan secara optimal.
Baca Juga
Platform seperti ChatGPT dari OpenAI maupun Gemini dari Google kini mendominasi percakapan publik tentang AI, dan API-nya dipergunakan untuk banyak aplikasi lain. Meskipun tidak secara eksplisit diklaim sebagai teknologi terbuka, banyak pengguna awam yang mempersepsikan ekosistem yang seperti ini sebagai bentuk keterbukaan. Padahal, model-model ini tetap beroperasi di dalam infrastruktur tertutup yang sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar.
Sentralisasi ini membawa risiko yang besar. Ketika infrastruktur inti dari kecerdasan buatan sepenuhnya dikendalikan oleh beberapa perusahaan besar, ekosistem digital kita menjadi sangat rentan. Gangguan layanan, perubahan kebijakan yang tiba-tiba, atau keputusan strategis yang mendadak dari perusahaan-perusahaan ini dapat mengakibatkan hilangnya akses secara tiba-tiba. Belum lagi bicara mengenai privacy dan permasalah censorship.
Saya menyebut ini “Monopoli Kecerdasan”. Ketika umat manusia dan perusahaan-perusahaannya sudah mulai ketergantungan terhadap kecerdasan silikon, oligarki digital baru akan terbentuk.
Saran saya untuk masa depan: Seharusnya ada pasar AI terbuka, yang secara langsung digerakkan oleh komunitas pengguna dan penyedia jasa AI. Bayangkan sebuah ekosistem digital tempat setiap individu atau kelompok dapat secara bebas menciptakan, mendanai, dan menggunakan berbagai alat AI dan model pembelajaran mesin tanpa adanya hambatan dari pihak-pihak tertentu. Dengan pendekatan ini, inovator, peneliti, startup, UMKM, dan pengguna manapun akan memiliki kesempatan yang setara untuk mempergunakan dan menyediakan layanan AI.
Memilih desentralisasi sebagai prinsip dasar dalam pengembangan teknologi AI bukan hanya sekedar idealisme, melainkan juga langkah pragmatis untuk meningkatkan ketahanan sistem secara keseluruhan dan mendorong pertumbuhan inovasi yang sesungguhnya.
Sebaliknya, terus bergantung pada platform-platform yang sangat terpusat akan membawa kita menuju masa depan yang rentan, di mana inovasi terbatas, ketergantungan tinggi terhadap keputusan-keputusan korporasi, dan akses terhadap teknologi AI menjadi sangat terbatas dan dikendalikan oleh kepentingan segelintir perusahaan dominan.
Sudah saatnya kita bersama-sama mendorong terbentuknya lanskap digital yang didasarkan pada prinsip keterbukaan, kolaborasi aktif, dan inovasi bersama, bukan sebuah dunia teknologi yang sepenuhnya dikontrol dan didikte oleh kepentingan eksklusif perusahaan-perusahaan besar.
(pan)