Bloomberg Technoz, Jakarta – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengaku prihatin atas terbitnya tarif baru royalti mineral dan batu bara (minerba). Kebijakan tersebut diresmikan pada waktu yang kurang tepat dan dinilai tidak realistis.
Terlebih, harga nikel global tengah mengalami penurunan tajam akibat ketegangan geopolitik dan eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin mengatakan kenaikan tarif royalti terbit di tengah ketidakpastian ekonomi global dan dikhawatirkan akan menambah tekanan terhadap industri nikel nasional baik di lini hulu maupun hilir.
“[Kenaikan tarif royalti nikel] berisiko mengurangi daya saing serta kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional,” kata Meidy melalui keterangan tertulis, Kamis (17/4/2025).

Meidy menjelaskan tarif royalti, khususnya bagi nikel, tidak realistis dan progresif.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM, tarif royalti untuk bijih nikel ditetapkan sebesar 14%—19%.
Adapun, produk olahan seperti feronikel (FeNi) hingga nickel pig iron (NPI) yang dikenakan tarif 4%—7%.
Meidy menilai penetapan tarif tersebut tidak mempertimbangkan kondisi riil di pasar. Menurutnya, harga nikel yang diperdagangkan di London Metal Exchange (LME) mayoritas menurun dalam 12 bulan terakhir.
“Dengan demikian, beban royalti yang meningkat justru menggerus margin usaha yang sudah tipis di tengah tren harga yang lesu,” ujarnya.
Kemudian, biaya operasional industri nikel juga melonjak akibat kebijakan mandatori B40 di sektor pertambangan yang mengerek harga biodiesel, kenaikan upah minimum regional menjadi 6,5%, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%, dan kewajiban retensi 100% devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) selama 12 bulan.
Di sisi lain, pengusaha sektor nikel juga diwajibkan memacu penghiliran. investasi smelter nikel PADAHAL merupakan usaha padat modal dan berisiko tinggi, dengan biaya pembangunan mencapai US$1,5 miliar—US$ 2 miliar per smelter.
Belum lagi, pengusaha juga harus membayar biaya reklamasi tambang, setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pajak pembayaran masa (PPM), dan mematuhi rencana pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) sebesar 15% mulai Tahun Pajak 2025.
“Kenaikan tarif royalti akan menekan margin produksi penambang dan smelter secara signifikan, berpotensi mengurangi penerimaan negara dari royalti produk smelter yang tidak dapat terjual karena kurang kompetitifnya harga produk di pasar,” jelas Meidy.
Di sisi lain, industri saat ini menanggung 13 beban kewajiban yang signifikan, termasuk biaya operasional tinggi, pajak dan iuran (PPN 12%, PBB, PNBP PKH, iuran tetap tahunan), serta kewajiban nonfiskal seperti reklamasi pasca tambang dan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS).
Kenaikan royalti, kata Meidy, juga berpotensi mengurangi minat investasi di sektor hulu-hilir nikel, menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global, dan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja.

Pengaruhi Cadangan
“Kenaikan tarif royalti yang menekan margin produksi akan memaksa penambang meningkatkan cut off grade, sehingga volume cadangan akan menyusut signifikan. Dengan cadangan yang menyusut, tingkat produksi dan life of mine akan berkurang, sehingga secara long-term penerimaan negara justru akan berkurang,” tutur Meidy.
Dia menggarisbawahi, industri minerba selama ini merupakan salah satu tulang punggung penerimaan negara. Pada tahun lalu, sektor ini menyumbang sebesar Rp140,5 triliun atau 52,1% dari total Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor ESDM yang mencapai Rp269,6 triliun.
“Dalam situasi global yang menantang, industri ini seharusnya diperkuat dan didukung, bukan justru dibebani,” ungkap dia.
Meskipun kebijakan tersebut resmi diundangkan, APNI berharap pemerintah masih membuka ruang dialog untuk mengevaluasi ulang kebijakan ini secara menyeluruh, termasuk potensi penundaan implementasi atau penerapan secara bertahap guna memitigasi dampak negatif terhadap keberlangsungan industri.
Sebagai alternatif solusi yang konkret, APNI mendorong pemerintah untuk merevisi formula Harga Patokan Mineral (HPM) bijih nikel, FeNi, dan NPI.
Menurutnya, saat ini formula HPM terlalu rendah dibandingkan indeks harga pasar seperti Shanghai Metals Market (SMM), sehingga dalam dua tahun terakhir berpotensi menyebabkan kerugian nilai pasar hingga US$6,3 miliar.
APNI mengusulkan agar formula HPM diperbarui dengan memasukkan nilai keekonomian dari kandungan besi pada bijih saprolit dan kobalt pada bijih limonit, yang selama ini belum dimonetisasi.
Dalam perhitungannya, estimasi tersebut menunjukkan bahwa penyesuaian ini dapat meningkatkan HPM hingga lebih dari 100%, tergantung karakteristik bijih dan efisiensi ekstraksi.
Dia membeberkan sederet dampak positif dari revisi formula HPM meliputi peningkatan penerimaan negara tanpa perlu menaikkan tarif royalti; meningkatnya margin usaha bagi perusahaan tambang untuk eksplorasi dan pengelolaan lingkungan; peningkatan cadangan akibat penurunan cut-off grade; kenaikan nilai ekspor produk hilir seperti NPI dan FeNi; dan insentif pengembangan teknologi ekstraksi dan hilirisasi mineral ikutan seperti besi dan kobalt.
Di sisi lain, APNI juga mengusulkan evaluasi atas corrective factor (CF) HPM untuk FeNi yang kini tidak lagi relevan, serta penyesuaian satuan transaksi dari US$/DMT ke US$/ton nikel murni atau US$/nickel unit sesuai praktik pasar internasional.
Meskipun demikian, APNI tetap berkomitmen mendukung agenda hilirisasi nasional dan mendorong agar kebijakan fiskal di sektor minerba dapat diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan.
“Diharapkan, pemerintah bersedia membuka ruang pembahasan lebih lanjut agar implementasi kebijakan PP No. 19/2025 dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih adaptif dan kolaboratif,” ujarnya.
Sekadar catatan, Presiden Prabowo Subianto telah resmi menandatangani PP No. 19/2025 pada 11 April 2025. Kebijakan itu berlaku efektif setelah 15 hari, terhitung sejak tanggal diundangkan, alias pada 26 April 2025.
Royalti nikel sesuai PP No. 19/2025:
Tarif royalti Bijih nikel:
- HMA < US$18.000 dikenakan tarif 14% dari harga per ton.
- US$18.000 < HMA < 21.000 dikenakan tarif 15% dari harga per ton.
- US$21.000 < HMA<24.000 dikenakan tarif 16% dari harga per ton.
- US$24.000 < HMA < US$31.000 dikenakan tarif 18% dari harga per ton.
- HMA > US$31.000 dikenakan tarif 19% dari harga per ton.
Bijih nikel kadar Ni < 1,5% sebagai bahan baku industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di dalam negeri dikenakan tarif 2% dari harga per ton.
Produk pemurnian nikel:
- Nikel Pig Iron (NPI)
- HMA < US$18.000 dikenakan tarif 5% dari harga per ton.
- US$18.000 < HMA < 21.000 dikenakan tarif 5,5% dari harga per ton.
- US$21.000 < HMA<24.000 dikenakan tarif 6% dari harga per ton.
- US$24.000 < HMA < US$31.000 dikenakan tarif 6,5% dari harga per ton.
- HMA > US$31.000 dikenakan tarif 7% dari harga per ton.
- Nickel Matte
- HMA < US$18.000 dikenakan tarif 3,5% dari harga per ton.
- US$18.000 < HMA < 21.000 dikenakan tarif 4% dari harga per ton.
- US$21.000 < HMA<24.000 dikenakan tarif 4,5% dari harga per ton.
- US$24.000 < HMA < US$31.000 dikenakan tarif 5% dari harga per ton.
- HMA > US$31.000 dikenakan tarif 5,5% dari harga per ton.
- Ferro Nickel (FeNi)
- HMA < US$18.000 dikenakan tarif 4% dari harga per ton.
- US$18.000 < HMA < 21.000 dikenakan tarif 4,5% dari harga per ton.
- US$21.000 < HMA<24.000 dikenakan tarif 5% dari harga per ton.
- US$24.000 < HMA < US$31.000 dikenakan tarif 5,5% dari harga per ton.
- HMA > US$31.000 dikenakan tarif 6% dari harga per ton.
- Nickel Oksida/Nickel Hidroksida/Nickel MHP/NickelHNC/Nickel Sulfida/Kobalt Oksida/Kobalt Hidroksida/Kobalt Sulfida/Krom Oksida/Logam Krom/Mangan Oksida/Magnesium Oksida/Magnesium Sulfat dikenakan tarif 2% dari harga per ton.
- Logam nikel dikenakan tarif 1,5% dari harga per ton.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)