Logo Bloomberg Technoz

SKK Migas mengestimasikan Lapangan Abadi Blok Masela memiliki puncak produksi sebesar 9,5 juta ton LNG per tahun (MTPA) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel kondensat per hari (BCPD).

Kontrak ditandatangani pada 16 November 1998 dan berakhir pada November 2028 (30 tahun). WK Masela sudah mendapatkan kompensasi waktu 7 tahun dan perpanjangan kontrak selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 15 November 2055.

Pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) Blok Masela saat ini adalah Inpex Masela Limited dengan porsi 65%, sedangkan sisanya –sebanyak 35%– akan dibagi antara Pertamina dengan target sebesar 20% dan Petronas 15%.

Pertambangan minyak onshore./dok. SKK Migas


Isu Pengembangan Blok Masela 

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan bahwa rencana pengembangan atau plan of development (PoD) sebenarnya sudah ditandatangani hampir 10—15 tahun lalu.

Namun, operasional dari Blok Masela justru terhambat karena adanya usulan peralihan  perencanaan untuk Blok Masela dari proyek offshore menjadi onshore. Operasional padahal bisa langsung dilakukan setelah penandatanganan PoD, tetapi justru terhambat karena adanya intervensi dari pemerintah.

“Ada intervensi, Presiden juga intervensi, di belakang itu semua kepentingan politik. Ini pelajaran pahit dan saya harap pemerintah belajar dari situ. Jangan terlalu banyak ikut campur karena ini bukan duit pemerintah, tetapi duit investor yang akan diinvestasikan miliar dolar di depan,” ujar Moshe saat dihubungi Bloomberg Technoz, Kamis (14/3/2024).

Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dalam peralihan perencanaan dari offshore menjadi onshore, lanjut Moshe, membuat Shell Upstream Overseas Ltd. (SUOS) hengkang dari Blok Masela. Inpex Masela Limited pun enggan mengakuisisi porsi Shell.

Selanjutnya, pemerintah dihadapkan dengan masalah untuk mencari pemegang PI pengganti Shell, yang pada akhirnya resmi diambil alih oleh Pertamina dan Petronas.

Setelah itu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyetujui pengajuan revisi rencana pengembangan atau PoD oleh Inpex Corporation, salah satunya yakni menambahkan fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) pada 28 November 2023.

Kementerian ESDM membeberkan total biaya investasi dan pengembangan operasi Lapangan Abadi Blok Masela mencapai US$34,7 miliar (Rp536,8 triliun), atau lebih besar dari estimasi sebelumnya senilai US19,8 miliar.

Namun, masalah selanjutnya muncul yakni mencari kepastian pembeli (offtaker) produksi yang dihasilkan Blok Masela. Dalam hal ini, produksi gas harus dilakukan bila terdapat kepastian pembeli karena keterbatasan penyimpanan.

“Zaman sudah berubah, ada permintaan baru, yang tadinya offtaker gas sudah ada, sekarang sudah beda lagi kriterinya. Produksi gas itu harus sudah ada kepastian pembeli. Kalau pembeli mundur atau belum ada pembeli, gas mau dikemanain? karena gas tidak mudah disimpan, mahalnya minta ampun,” ujar Moshe.

Tanker pengangkut LNG./Bloomberg-Mark Felix

Seberapa Penting Masela untuk Indonesia? 

Moshe menggarisbawahi alasan Indonesia gencar dalam pengembangan Blok Masela adalah karena sebelumnya penandatanganan PoD sudah dilakukan, hanya tinggal melakukan operasional. PoD itu pun memberikan kepastian mengenai potensi dari Blok Masela.

Walaupun Indonesia memiliki potensi yang besar mengenai cadangan gas, tetapi masih harus dikaji terlebih dahulu mengenai kepastian potensinya.

“Kemarin di Sakakemang ditemukan potensi besar, tetapi ternyata dibor atau dieksplorasi lagi, tidak sebesar yang kita kira. Sedangkan Masela ini sudah pasti, kepastian sudah ada dan PoD sudah disetujui. Sebenarnya tinggal eksekusi, tetapi ada masalah di tambahan [intervensi],” ujarnya.

Selain itu, permintaan gas di dunia terus mengalami peningkatan. Berbeda dengan permintaan minyak yang diprediksi oleh International Energy Agency (IEA) akan mencapai puncaknya pada 2035, Moshe melanjutkan, belum ada proyeksi mengenai masa puncak permintaan gas.

“Gas sangat cocok untuk negara yang mau bertransisi, energi lebih bersih. Jadi setidaknya mengurangi batu bara, tingkatkan gasnya. Permintaan gas makin lama makin besar. Potensi luar biasa dan ini jangka panjang puluhan tahun. Makanya, penting untuk kita fokuskan produksi gas,” pungkasnya. 

Derek beroperasi di dekat tangki penyimpanan gas alam cair (LNG) di Darwin, Australia./Bloomberg-Carla Gottgens

Mengapa DPR Pesimistis?

Menanggapi perkembangan terkini megaproyek Blok Masela, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman pesimistis Lapangan Abadi bakal bisa onstream tepat waktu pada 2029, sesuai target yang dipatok SKK Migas.

“Disebutkan onstream oleh SKK Migas dilaporkan pada 2029, tetapi kayaknya saya ragu. Kami juga berkepentingan untuk Blok Masela jalan, tetapi kalau melihat seperti itu, sepertinya kita ragu 2029 bisa terealisasi untuk Blok Masela,” ujar Maman dalam rapat dengar pendapat dengan SKK Migas, Rabu (13/3/2024).  

Maman menggarisbawahi terdapat peralihan perencanaan untuk Blok Masela dari proyek offshore menjadi onshore, tetapi dirinya mengatakan transisi tersebut belum jelas dan sangsi Blok Masela bakal onstream pada 2029.

Alih-alih mengembangkan Lapangan Abadi Blok Masela dari awal, Maman mengusulkan Indonesia dapat menggunakan infrastruktur yang sudah mumpuni di blok-blok yang sebelumnya sudah dinilai potensial, tetapi saat ini sudah mengalami penurunan potensi.

Dalam kaitan itu, Indonesia dinilai bisa menggandeng raksasa migas Jepang, Inpex Corporation —yang juga merupakan pemegang PI terbesar di Blok Masela melalui PT Inpex Masela Ltd — untuk menggunakan fasilitas Inpex di Darwin, Australia. 

Posisi Blok Masela di Laut Arafura memang berdekatan dengan bagian utara Kota Darwin, hanya sekitar 400 km.

Logo Inpex di kantor pusatnya di Jepang./Bloomberg-Robert Gilhooly

Adapun, Inpex memang memiliki berbagai fasilitas penunjang produksi dalam proyek Ichthys LNG, seperti fasilitas pemrosesan onshore LNG Ichthys, fasilitas pemrosesan pusat, fasilitas produksi, penyimpanan dan pembongkaran terapung, serta pipa ekspor gas,

“Di samping Lapangan Abadi Blok Masela itu kan ada Darwin, Inpex kan. Ada juga fasilitas dia. Setahu saya gas di sana sudah mulai decline [produksi LNG-nya], kenapa tidak pakai fasilitas itu?” ujar Maman.

Maman pun mengeklaim setidaknya terdapat dua manfaat yang dihasilkan bila Indonesia menggunakan fasilitas Inpex di Darwin. Pertama, bisa lebih cepat dari sisi waktu, di mana diprediksi hanya membutuhkan waktu 2—3 tahun untuk menggunakan fasilitas di Darwin dan melakukan modifikasi.

Tahun pertama, kata Maman, bisa dimanfaatkan untuk menjajaki hubungan antara Indonesia, Australia dan Jepang. Sementara itu, sisa dua tahun berikutnya dapat digunakan untuk modifikasi fasilitas sesuai dengan yang dibutuhkan.

Kedua, penggunaan fasilitas Inpex di Darwin juga bisa menghemat biaya. Perlu diketahui nilai investasi dari Lapangan Abadi Blok Masela mencapai US$20,9 miliar atau setara Rp325,63 triliun (asumsi kurs Rp15.580,40). Penggunaan fasilitas Inpex di Darwin, kata Maman, tentu bisa mengurangi belanja modal atau capital expenditure (capex) dari proyek tersebut.

“US$20 miliar itu duit semua, [setara] Rp300 triliun ya plus minus? Saya melihatnya ada penghematan cost yang bisa kita hemat dan ini bisa jadi alat negosiasi Indonesia dengan Inpex, karena saya yakin dengan turunnya penggunaan cost recovery, yang tadinya Rp300 triliun, itu bisa jadi alat negosiasi kita dengan Inpex untuk beberapa hal nantinya, pasti itu jauh sekali itu capexnya,” ujarnya.

Maman menyadari bahwa usulannya itu tentu mengundang perdebatan, khususnya dari sisi kedaulatan. Namun, dia meyakini, isu kedaulatan bisa sedikit dikompensasi untuk mendorong percepatan peningkatan pendapatan negara dari sektor migas.

Sebagai catatan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memproyeksikan penerimaan negara dari hulu minyak dan gas bumi (migas) mencapai US$12,9 miliar atau setara Rp200,98 triliun (asumsi kurs Rp15.580) pada 2024.

Angka ini mengalami penurunan 11,64% dari penerimaan negara sebesar US$14,6 miliar atau setara Rp227,46 triliun pada 2023.

“Ini bisa jadi sebuah diskusi yang layak dibahas daripada kita terjebak pada situasi yang tidak tahu dimana ujungnya. Jadi saya ingin [memberikan] usulan konkret untuk mengkaji penggunaan fasilitas Inpex yang ada di Darwin. Menurut saya ini layak didiskusikan oleh SKK Migas, KKKS dan bisa jadi pintu masuk Pertamina,” ujar Maman.

“Saya pikir isu kedaulatan bisa selesai dengan hadirnya Pertamina di dalam kepemilikan aset, apapun itu silakan ahli komersial. Daripada Pertamina sibuk menaikkan aset di Indonesia, mendingan naikkan aset di luar negeri. Tadi katanya Pertamina produksi di luar negeri naik jadi 150.000 barel. Dari 150.000 barel kan bisa naik lagi [dengan] melakukan aksi korporasi di luar negeri."

Selain itu, dia berpendapat Indonesia tentu bisa menggunakan teknologi pengawasan untuk memantau jumlah produksi setiap harinya sehingga dapat mengatasi masalah kedaulatan tersebut.

(dov/wdh)

No more pages