Logo Bloomberg Technoz

Krisis SVB Masih Membayangi, IHSG Masih Butuh Waktu untuk Stabil

Tara Marchelin
17 March 2023 20:50
Karyawan memfoto layar pergerakan saham (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (9/3/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)
Karyawan memfoto layar pergerakan saham (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (9/3/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Setelah ditutup melemah selama tiga hari, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat hari ini dengan kenaikan 112,5 poin atau 1,71% pada posisi 6.678,23 pada perdagangan Jumat (17/3/2023). Meskipun demikian, Direktur Equator Swarna Investama, Hans Kwee masih perlu menunggu beberapa hari lagi untuk benar-benar memastikan IHSG stabil.  

“Hari ini pasar rebound tapi kalau berharap pasar benar-benar stabil, kita mau lihat beberapa hari apakah ada lagi bank yang gagal,” ungkap Hans saat dihubungi Bloomberg Technoz, Jumat (17/3/2023). 

Hans mengatakan melemahnya IHSG selama tiga hari berturut-turut disebabkan oleh kekhawatiran pasar atas dampak sistemik dari jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Capital, dan Signature Bank. Peristiwa itu, kata Hans, sempat menimbulkan spekulasi terkait kemungkinan bailout pemerintah Amerika Serikat. 

“Ternyata yang dilakukan otoritas AS itu bukan bailout tapi lebih menjamin semua dana deposan, tapi banknya akan dilelang atau dibubarkan untuk menyelesaikan kasus tadi, berarti deposannya ditalangi. Dengan demikian, tentu dampak sistemiknya tidak terjadi,” jelasnya.

Hal serupa juga diungkapkan Jono Syafei, Analis Henan Putihrai Sekuritas yang menilai bahwa jatuhnya ketiga bank AS tersebut menimbulkan ketakutan akan risiko likuiditas yang dapat berdampak sistemik ke sistem keuangan AS. Meskipun demikian, lanjutnya, pihak regulator dan institusi keuangan AS, serta Federal Reserve (Fed) telah menyalurkan bantuan likuiditas sehingga kekhawatiran yang mencuat hanya bersifat sementara.  

 “Memang kemarin itu para pelaku pasar menarik uangnya dari  aset berisiko seperti bursa saham dan memindahkan uangnya ke emas dan obligasi. Itu pasti berdampak ke IHSG juga karena IHSG sebagian masih dari investor asing. Mereka investasi di bank-bank besar. Jadi, sektor perbankan dulu yang kena kalau ada kepanikan di luar negeri,” papar Jono. 

Selain itu, Ia mengungkapkan pelaku pasar perlu memantau kondisi pada minggu depan, terutama dengan adanya rencana rapat Fed untuk menentukan suku bunga. Menurut Jono, pelaku pasar memperkirakan Fed tidak menaikkan suku bunga atau menaikkan dengan jumlah lebih sedikit untuk mencegah kepanikan.

“Jadi, mungkin bisa dilihat sampai minggu depan sebagai katalis, entah itu sentimen positif atau negatif,” tambahnya. 

Hal senada juga diungkapkan Hans. Menurutnya mengungkap pelaku pasar berharap bahwa bank sentral global tidak agresif menaikkan suku bunga agar tidak terjadi lagi kegagalan bank lain. 

“Di jangka panjang, pasar berharap inflasi bisa benar-benar turun karena data inflasi kemarin sudah di 6,5%, 6,4% kemudian 6%. Itu sudah sesuai ekspektasi pasar dan akhir tahun pasar berharap inflasi Amerika di 4,5%. Kalau  inflasi balik ke 4,5 %, Fed dengan bunga 4,5 sampai 4,75, malah punya potensi menurunkan suku bunga,” jelas Hans.  

Lebih lanjut, Jono mengimbau para emiten di Indonesia yang memiliki eksposur besar terhadap dollar AS untuk berhati-hati karena jatuhnya SVB, Silvergate Capital, dan Signature Bank sangat berpengaruh terhadap nilai dollar AS. 

“Emiten yang eksposurenya besar terhadap dollar AS  mungkin harus lebih berhati-hati dalam menggunakan aset yang berhubungan dengan mata uang tersebut,” ujarnya. 

Sementara itu, Jono mengatakan investor dapat memanfaatkan turunnya saham perbankan big caps akibat kegagalan 3 bank AS sebagai kesempatan untuk menambah kepemilikan saham mereka. 

“Kalau melihat saham turun tapi kinerjanya tidak masalah, seperti saham blue chip BMRI dan BBNI, sekarang bisa dijadikan peluang untuk investor tambah lagi (saham), kalau memang tujuannya untuk investasi,” ungkapnya.   

(tar/evs)