Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Harga minyak dunia kembali mencetak rekor tertinggi dalam 15 bulan terakhir sebagai reaksi atas keputusan pemangkasan produksi oleh negara-negara eksportir minyak besar yang tergabung dalam OPEC+ seperti Arab Saudi dan Rusia.

Kontrak minyak jenis Brent kini berada di posisi US$ 90,65 per barel, level tertinggi setidaknya sejak Juni 2022 silam. Sementara minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) juga melanjutkan kenaikan ke posisi US$ 87,51 per barel.

Selama sepekan terakhir, harga minyak WTI telah mencetak kenaikan 2,3%, sementara jenis Brent naik 2,4% dibandingkan posisi penutupan pekan lalu.

Kenaikan harga minyak dunia ini telah menimbulkan kekhawatiran dapat memantik lagi percepatan inflasi global dengan naiknya harga energi. Di kawasan negara berkembang, kenaikan harga minyak yang terjadi berbarengan dengan lonjakan harga pangan menyusul ketatnya pasokan beras dunia, menjadi kombinasi buruk yang bisa membangkitkan lagi hantu inflasi.

Padahal sejauh ini negara-negara berkembang relatif telah keluar dari pertempuran menaklukkan inflasi yang bergelora sejak pandemi Covid-19 mereda dan mengganggu disrupsi rantai pasokan dunia.

Indonesia tidak kalis dari dampak tersebut. PT Pertamina (Persero) awal bulan ini telah menaikkan harga jual BBM nonsubsidi untuk semua jenis. Sementara harga BBM di SPBU swasta juga turut meningkat. Kenaikan harga BBM nonsubsidi memperlebar kesenjangan harga dengan BBM subsidi jenis Pertalite. Di satu sisi itu memicu kecemasan akan mendorong peralihan konsumsi masyarakat akibat harga yang semakin mahal. 

Kenaikan harga minyak dunia bagi Indonesia bisa berdampak pada kian lebarnya defisit Transaksi Berjalan yang dapat menyeret nilai tukar rupiah. Beban ganda bagi valuta lokal yang sejauh ini sudah diberatkan oleh ekspektasi kenaikan bunga acuan negara-negara maju di sisa tahun ini.

Beberapa negara di Asia mencatat lonjakan inflasi lagi seperti Filipina, Korea Selatan dan India, terutama akibat dampak topan musiman dan disrupsi pasokan pangan karena El Nino ditambah kebijakan pengetatan ekspor beras oleh India.

Mulai menggeliatnya lagi inflasi tak ayal menyalakan lagi sinyal kenaikan bunga acuan. Bank of Korea, sebagai contoh, telah melontarkan sinyal bahwa peluang kenaikan bunga acuan terbuka.

Begitu juga bank sentral Filipina, Banko Sentral ng Pilipinas yang juga melempar indikasi bahwa mereka telah siap menyesuaikan kebijakan moneter untuk mencegah lonjakan inflasi lebih jauh.

Ancaman cuaca panas ekstrem

Studi terakhir yang dirilis oleh Macquarie Group menyebut, cuaca panas ekstrem yang melanda dunia saat ini juga bisa mengancam pasokan BBM global.

Selain menyebabkan lonjakan permintaan listrik karena masyarakat menyalakan mesin pendingin udara (AC), suhu yang sangat panas juga menyebabkan serangkaian gangguan pada kilang minyak. Hal itu akhirnya membuat harga bensin di Amerika Serikat tetap tinggi dan menyebabkan kenaikan biaya solar jauh melebihi kenaikan harga minyak mentah. Musim panas ini sangat melelahkan: Juli adalah bulan terpanas di dunia, setelah Juni.

Panas yang membakar menyebabkan penyulingan mengurangi pemrosesan minyak setidaknya 2% secara global selama dua bulan tersebut, menurut Macquarie Group. Meskipun hal tersebut mungkin tidak terlalu besar, pemadaman ini telah berdampak pada sistem pengilangan yang telah terbebani oleh kurangnya investasi selama bertahun-tahun dan pasar produk minyak yang sudah ketat akibat perang di Ukraina.

“Kondisi cuaca ekstrem yang kita lihat tahun ini benar-benar merupakan masalah besar,” kata Ben Luckock, salah satu kepala perdagangan minyak di raksasa komoditas Trafigura Group seperti dilansir oleh Bloomberg News, Minggu (10/9/2023).

“Panas telah menciptakan masalah besar bagi kilang-kilang di Eropa dan Amerika dengan lebih banyak pemadaman listrik dan masalah-masalah yang lebih sulit untuk diperbaiki,” katanya dalam sebuah wawancara di Singapura minggu ini.

Pengolahan minyak mentah Eropa turun 700.000 barel per hari selama musim panas dibandingkan tahun sebelumnya, menurut perkiraan konsultan industri FGE. Jumlah tersebut sekitar 6% dari produksi regional, berdasarkan angka dari Tinjauan Statistik Energi Dunia terbaru dari BP Plc.

Lebih dari separuh penurunan tersebut disebabkan oleh panas, kata Steve Sawyer, direktur pengilangan & kepala hilir FGE.

Selain membatasi pasokan, kenaikan suhu juga meningkatkan permintaan bahan bakar minyak yang biasa digunakan untuk menghasilkan listrik di Timur Tengah dan Asia Selatan. Mereka juga menambah biaya transportasi dengan mengeringkan saluran air penting seperti sungai Rhine dan Terusan Panama.

“Meningkatnya suhu lingkungan membatasi efisiensi pengoperasian unit kilang” dan juga semakin banyak pemadaman listrik akibat penuaan pabrik, kata Serena Huang, analis Asia utama di Vortexa Ltd. “Gangguan pada pasokan kilang atau operasi pengiriman hampir pasti akan memperkuat ketidakpastian dan volatilitas harga di pasar.”

(rui)

No more pages