Angka ini menunjukkan kecenderungan kuat berpindah kerja di tengah tantangan psikologis di tempat kerja.
Ketika data dipersempit pada kelompok karyawan yang mengaku stres, angka tersebut meningkat signifikan. “Dari mereka yang stres, 62% sedang aktif mencari pekerjaan lain,” jelas Astrid. Hanya 24% yang tidak mencari pekerjaan baru meski berada dalam kondisi tekanan mental.
Menurut Mercer, temuan ini berpengaruh langsung terhadap retensi dan produktivitas perusahaan. Meski tingkat turnover saat ini relatif rendah karena terbatasnya lapangan pekerjaan, fenomena lain justru muncul: job hugging atau “bertahan di tempat kerja tapi nggak suka”, di mana karyawan bertahan bukan karena motivasi, tetapi hanya demi keamanan pekerjaan di tengah kesulitan mencari peluang baru.
Astrid menilai kondisi ini dapat berdampak pada performa jangka panjang perusahaan. “Kalau mereka sudah stres dan tidak termotivasi, produktivitas pasti dipertanyakan,” katanya. Oleh karena itu, perusahaan perlu memahami sumber stres karyawan dan mengambil langkah intervensi yang tepat.
Meski kebutuhan akan dukungan kesehatan mental meningkat, hanya 25% perusahaan di Indonesia yang berencana menyediakan intervensi emotional wellbeing tahun depan. Intervensi yang dimaksud mencakup layanan seperti resep pengobatan kesehatan mental, Employee Assistance Program (EAP), pelatihan kesadaran mental, hingga virtual counseling.
(dec/spt)































