Pada kesempatan tersebut, Ketua Bidang Riset dan Kajian Ekonomi Perbankan Perbanas, Aviliani turut menuturkan proyeksi tersebut didasari membaiknya pertumbuhan kredit pada 2025 dan Dana Pihak Ketiga (DPK), meski DPK sendiri menurtnya sempat mengalami tekanan dan mulai rebond pada Agustus 2025.
"Jadi kalau kita ambil rata-rata minimal sekitar 7,6% sampai dengan maksimal 12%. Jadi rata-rata sekitar 9,68% ya kita ambil rata-rata dari angka prediksi dari bank-bank," jelas Aviliani.
Sebagai catatan saja, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan pada 2026 akan berada di kisaran 8-12%. Angka tersebut sedikit lebih tinggi dibanding proyeksi pertumbuhan kredit bank sampai akhir tahun ini, yakni 8%-11%.
Kelas Menengah Bawah Butuh Bantuan Pemerintah
Namun, di balik optimisme perbankan, ia tetap mengingatkan pentingnya perhatian pemerintah terhadap kelompok menengah bawah, yang dinilai paling rentan menekan stabilitas ekonomi dan sosial.
Aviliani menilai keberlanjutan pertumbuhan kredit juga sangat bergantung pada kesehatan daya beli masyarakat. Sehingga, jika kelompok menengah bawah terus melemah, permintaan kredit dapat terhambat meski likuiditas perbankan longgar.
"Karena kalau kita lihat kenapa [pertumbuhan ekonomi] kita masih tetap bisa tumbuh 5%? Karena 53% [kita] masih didominasi oleh menengah atas. Ini biasanya orang yang tidak banyak kena dampak terhadap inflasi, terhadap berbagai hal, karena mereka pendapatannya kalau krisis makin tinggi, bunga makin tinggi, berarti pendapatannya makin tinggi," ungkapnya.
Lebih jelasnya dalam pemetaan berdasarkan desil, Aviliani menjelaskan bahwa desil biru, merupakan kelompok menengah atas dan atas, yang relatif aman dari tekanan inflasi dan suku bunga. Mereka justru sering mengalami peningkatan pendapatan ketika suku bunga naik. Kelompok ini masih menjadi motor konsumsi nasional, menyumbang 53% konsumsi rumah tangga.
Sementara Desil merah (bawah) adalah kelompok berpendapatan rendah yang saat ini justru mendapat banyak perlindungan melalui BLT dan berbagai subsidi. Sedangkan desil kuning (menengah bawah) justru merupakan kelompok yang disebutnya paling rentan, karena tidak mendapat subsidi dan tidak termasuk sasaran BLT.
"Jadi yang perlu diperhatikan adalah mencegah yang kuning [kelas menengah ke bawah], jangan sampai dia melebar. Kalau dia makin melebar, itu makin berbahaya karena sektor informal kita akan semakin tinggi," jelasnya.
(prc/roy)































