Logo Bloomberg Technoz

Evaluasi tersebut, lanjut Bhima, termasuk pada aspek kepatuhan regulasi perusahaan pertambangan terhadap aturan lingkungan hidup seperti penempatan dana jaminan reklamasi, komitmen pascatambang, serta kepatuhan terhadap dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal).

“Juga bagaimana dengan tambang yang sudah jadi lubang-lubang tambang, bekas tambang ini menuntut perusahaan-perusahaan tambang ini harus segera melakukan reklamasi gitu,” ucap Bhima.

Bhima juga menilai keberadaan tambang di wilayah Sumatra tidak memberikan dampak ekonomi signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekitar. Alih-alih, dia menilai tingkat ketimpangan di wilayah tambang Sumatra masih cukup tinggi.

Kerugian Ekonomi

Bhima mengalkulasikan kerugian ekonomi di wilayah Aceh gegara banjir tersebut capai Rp2,04 triliun, lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sektor pertambangan Aceh yang hingga 31 Agustus 2025 senilai Rp929 miliar.

“Jadi dua hal itu yang harus dilakukan segera, karena kalau tidak, ke depannya bencana ekologisnya makin masif dan daya rusak ekonominya makin besar. Jadi kita harus lihat bahwa bukan model tambang dan sawit di Sumatra yang cocok, tetapi harus dicari model pertumbuhan ekonomi yang lain,” tegas Bhima.

Adapun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Utara menuding aktivitas sejumlah perusahaan di kawasan ekosistem Batang Toru, salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumut, memperparah banjir bandang yang terjadi di wilayah tersebut.

Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba menyatakan organisasinya mengindikasikan tujuh perusahaan turut memicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru.

Perusahaan yang dimaksud, antara lain; PT Agincourt Resources (PTAR) pengelola tambang emas Martabe; PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) pengelola PLTA Batang Toru; PT Pahae Julu Micro Hydro Power pengelola PLTMH Pahae Julu; dan PT SOL Geothermal Indonesia pengelola Geothermal Taput.

Lalu, PT Toba Pulp Lestari Tbk. (INRU), pengelola unit perkebunan kayu rakyat (PKR) di Tapanuli Selatan; PT Sago Nauli Plantation, pengelola perkebunan sawit di Tapanuli Tengah; hingga  PTPN III Batang Toru Estate pengelola perkebunan sawit di Tapanuli Selatan.

“Dalam delapan tahun terakhir Walhi Sumut mengkritisi terus-menerus model pengelolaan Batang Toru, misalnya PLTA Batang Toru. Selain akan memutus habitat orang utan dan harimau, juga merusak badan-badan sungai dan aliran sungai yang menjadi daya dukung dan daya tampung lingkungan,” kata Rianda dalam keterangan tertulis, yang diterima Selasa (2/12/2025).

“Selain itu juga pertambangan emas yang berada tepat di sungai Batang Toru,” tegas Rianda.

Rianda juga menyoroti aktivitas kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari di kecamatan Sipirok. Walhi menuding aktivitas tersebut mengalihfungsikan hutan.

Terkait dengan berdirinya PLTA Batang Toru, Rianda menyatakan pembangkit tenaga air tersebut menyebabkan hilangnya lebih dari 350 hektare (ha) tutupan hutan di sepanjang 13 kilometer (km) daerah sungai.

PLTA tersebut juga dituding menyebabkan gangguan fluktuasi debit sungai, sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian dan pembangunan bendungan, hingga berpotensi menyebabkan polusi di sungai jika limbah galian mengandung unsur beracun.

Di sisi lain, pembukaan hutan melalui skema pemanfaatan kayu tumbuh alami (PHAT) dituding menjadi salah satu pemicu banjir bandang.

Rianda mencatat kawasan koridor satwa yang menghubungan Dolok Sibualbuali–Hutan Lindung Batang Toru Barat telah terdegradasi 1.500 ha dalam 3 tahun terakhir.

“Semua aktivitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang.”

(azr/wdh)

No more pages