Terlebih, beberapa waktu lalu saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Purbawa Yudhi Sadewa menyindir bahwa ekonomi terlalu direm dan hanya mendapat dukungan fiskal semata, sementara moneter belum banyak membantu.
Apakah indikator inflasi ini akan membuat BI berkenan melepas remnya dan membantu Kementerian Keuangan dengan fiskalnya menginjak gas agar laju roda ekonomi makin kencang?
Memang, laju ekonomi Indonesia saat ini berada di bawah kapasitas nasional. Sehingga penurunan suku bunga acuan untuk akselerasi pertumbuhan dapat dipertimbangkan sebagai pendongkrak.
BI mengakui terbukanya ruang pelonggaran moneter. Pernyataan ini disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan November.
“Oleh karena itu, mengenai arah suku bunga, penurunan suku bunga acuan ke depan, ya memang ada ruang penurunan suku bunga acuan BI lebih lanjut,” ujar Perry.
Dalam RDG bulan lalu, BI menyebutkan realisasi inflasi dalam target yang dipatok BI di angka 2,5±1% sebagai syarat penurunan suku bunga acuan. Syarat ini agaknya sudah terpenuhi.
Tapi, apakah stabilitas eksternal juga memberi ruang pelonggaran moneter bagi BI seperti realisasi inflasi ini?
Dalam kesempatan yang sama, BI menegaskan bahwa pihaknya tetap mempertimbangkan dinamika ekonomi global. Terlebih, guncangan pada nilai tukar rupiah menjadi salah satu fokus utama BI saat ini agar ekonomi Indonesia memiliki daya tahan di tengah ketidakpastian global yang masih terjadi.
“Sehingga fokus kami jangka pendek adalah stabilitas nilai tukar rupiah sambil memperkuat efektivitas transmisi pelonggaran kebijakan moneter dan pelonggaran kebijakan makroprudensial yang telah ditempuh selama ini,” kata Perry.
Sayangnya, stabilitas eksternal kurang memberi dukungan pada rencana pelonggaran kali ini. Neraca Pembayaran Indonesia atau NPI tercatat mengalami defisit senilai US$6,4 miliar pada triwulan III-2025. Defisit ini merupakan kejadian ketiga kali secara beruntun sepanjang tahun ini.
Sebagai catatan, sejak triwulan I-2025, NPI defisit nilainya US$0,7 miliar, dan makin melebar pada triwulan II-2025 menjadi US$6,7 miliar. Dengan pencatatan defisit triwulan III-2025 ini maka total defisit NPI mencapai US$13,91 miliar.
Defisit ini dapat menggambarkan kondisi Ibu Pertiwi yang kelihatannya mulai kehilangan sebagian besar bantalan pembiayaan eksternal, baik lewat portofolio maupun pinjaman dan instrumen keuangan lainnya.
Di sisi lain, BI menyebut syarat pelonggaran moneter lainnya yaitu membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika melihat kabar baik yang datang dari sisi transaksi berjalan, ekonomi Indonesia terpantau berjalan cukup positif.
Indonesia tercatat mengalami surplus senilai US$1,1 miliar secara kumulatif. Capaian ini mengindikasikan bahwa fondasi ekonomi di sektor riil cukup positif, seperti ekspor, jasa, hingga pendapatan luar negeri masih bisa diandalkan dan mampu menyetor devisa.
Begitu juga dengan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia yang menunjukkan ekspansi positif pada November. Skor PMI manufaktur Indonesia berada di 53,3 naik dari capaian skor Oktober lalu yaitu 51,2.
Angka yang menandakan ekspansi empat bulan terakhir ini diklaim merupakan hasil dari stimulus fiskal yang beberapa waktu lalu digelontorkan oleh Kementerian Keuangan.
Dari dua syarat indikator tersebut, BI agaknya akan ragu untuk mengambil langkah pelonggaran moneter dengan memangkas suku bunga acuan. Sebab, secara stabilitas eksternal Indonesia masih perlu memperkuat fondasi rupiah agar makin mengakar di tengah gejolak eksternal.
Penguatan rupiah dalam beberapa pekan terakhir ini masih dibayangi oleh sentimen pergantian gubernut bank sentral AS dari Jerome Powell ke Kevin Hasset yang tampaknya akan terjadi menurut prediksi CME Fedwatch. Dengan bergantinya tampuk kepemimpinan The Fed, strategi yang dipakai pun akan berubah dan diprediksi dovish dengan rencana penurunan suku bunga acuan pada Desember ini.
Penurunan suku bunga The Fed itu bisa memberikan ruang bagi BI menahan suku bunga 7 Day Reverse Repo Rate. Terlebih, di tengah ketatnya likuiditas saat ini, BI dapat menawarkan nilai suku bunga lebih tinggi dari The Fed dapat mengalirkan modal dari investor asing untuk masuk kembali ke pasar surat utang Indonesia.
(dsp/aji)





























