Logo Bloomberg Technoz

“Agar tidak kehilangan momentum, maka persiapan pembangunan pabrik pendukung harus dimulai dari sekarang. Peluang inilah yang ditangkap oleh Toyota yang juga sudah mengembangkan mobil berbahan bakar bioetanol di banyak negara” ujarnya.

Dalam kunjungan tersebut, Todotua melakukan pertemuan dengan Masahiko Maeda, CEO of Asia Region, Toyota Motor Corporation serta mengunjungi fasilitas riset di Fukushima milik Research Association of Biomass Innovation for Next Generation Automobile Fuels (RABIT). 

Bidik Lampung

Berdasarkan Roadmap Hilirisasi Investasi Strategis yang dimiliki Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, lanjut Todotua, sejumlah wilayah seperti Lampung telah disiapkan untuk menjadi sentra pengembangan industri bioetanol.

Proyek percontohan bioetanol tersebut akan memanfaatkan bahan baku dari tebu, singkong, dan sorgum. 

“Sebagai pioneer project, tadi sudah didiskusikan akan bekerjasama dengan Pertamina NRE di Lampung, untuk bahan bakunya juga tidak hanya dari perusahaan, tetapi juga melibatkan petani dan koperasi tani setempat sehingga juga dapat menggerakan perekonomian di daerah, nantinya untuk suplai energi juga diintegrasikan dengan plant geothermal dan hidrogen milik Pertamina” jelas Todotua.

Dalam kesempatan yang sama, Toyota, melalui PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) turut menyampaikan minat untuk berinvestasi dalam pengembangan industri bioetanol di Indonesia. 

Langkah ini merupakan bagian dari strategi global Toyota untuk mengamankan pasokan bahan bakar bagi kendaraan flex-fuel berbasis bioetanol, sekaligus mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil impor.

“Sepulangnya dari Tokyo, baik Toyota maupun Pertamina akan langsung melakukan joint study dan site visit ke lokasi di Lampung, targetnya pada awal 2026 perusahaan patungan [joint venture/JV] sudah terbentuk.”

Dalam rangka mendukung kebijakan E10, sambung Todotua, saat ini tengah dikaji rencana pengembangan fasilitas dengan kapasitas produksi sebesar 60.000 kiloliter per tahun dan nilai investasi sekitar Rp2,5 triliun.

Investasi ini, menurut Todotua, menjadi langkah awal yang diharapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga membuka peluang ekspor ke negara lain.

Tiru Brasil

Lebih lanjut, Todotua menerangkan kebijakan bioetanol sudah sukses diterapkan di Brasil, yang saat ini bahkan tengah mengkaji mandatori E100.

Kebijakan serupa juga diambil oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), China, India, Prancis, Thailand, serta Filipina yang sudah menerapkan kebijakan E10 hingga E20.

Toyota sendiri mengklaim telah berhasil memiliki teknologi mesin kendaraan yang efisien dan ramah lingkungan dengan penggunaan bahan bakar E20, bahkan dari riset yang dikembangkan bahan bakar hijau tersebut telah diujicobakan dalam mobil balap Super Formula.

“Mesin dengan bahan bakar E20 dan Hybrid EV merupakan teknologi yang matching untuk digunakan dalam industri mobility saat ini” ujar Maeda.

Dalam kolaborasi risetnya di Jepang melalui RABIT, Toyota tengah mengembangkan bioetanol generasi kedua yang bersumber dari biomassa nonpangan, seperti limbah pertanian dan tanaman sorgum.

Teknologi ini dinilai sangat relevan dengan potensi agrikultur Indonesia yang melimpah dan kondisi agroklimat yang cocok untuk budidaya secara berkelanjutan.

“Kemarin saat kunjungan kami juga telah berdiskusi dengan RABIT, bahwa teknologi pabrik bioetanol generasi kedua ini dapat memanfaatkan berbagai macam limbah pertanian, sehingga teknologinya cocok dengan Indonesia yang tidak hanya memiliki potensi tanaman sorgum, tetapi bisa juga dari tebu, padi, singkong, kelapa sawit, aren dan lain-lain ” tutur Todotua. 

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menargetkan mandatori E10 dapat berlaku pada 2027. Menurut Bahlil, mandatori E10 mesti dipercepat agar Indonesia bisa segera lepas dari ketergantungan impor bensin.

Saat ini, lanjutnya, pemerintah tengah mempersiapkan lini waktu yang memungkinkan untuk implementasi mandatori bioetanol 10% tersebut.

Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian ESDM Menurut hitung-hitungan Kementerian ESDM, kebutuhan bioetanol untuk menjalankan program mandatori E10 itu sekitar 1,2 juta kiloliter.

Sementara itu, saat ini sudah terdapat BBM dengan campuran etanol 5% yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) dengan nama dagang Pertamax Green 95. Pertamina melaporkan konsumsi Pertamax Green 95 hingga kini tercatat sekitar 100–110 kl setiap bulannya.

(wdh)

No more pages