"Kalau dia produksi di sini, dia transfer teknologinya di sini, maka secara bertahap logikanya, karena dia produksi dalam negeri, harga obat yang selama ini mahal—contohnya beberapa obat yang 4-5 kali lipat lebih mahal dibanding di India—kalau dia buat di sini, harga obat dalam negeri akan turun," jelasnya.
Dengan harga yang lebih terjangkau (affordable), maka aksesibilitas (accessibility) masyarakat terhadap obat akan meningkat.
Dalam kesempatan yang sama, Taruna juga mengatakan salah satu halangan atas strateginya tersebut yakni Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 58 pembahasan obat tradisional yang ditanggung BPJS.
Peraturan tersebut kemudian merujuk pada regulasi yang mengatur pelayanan kefarmasian atau kebijakan obat, meskipun perlu diversifikasi secara spesifik oleh sumber yang mengutip.
Rencana BPOM ini disambut baik, namun pengamat menyoroti bahwa Pekerjaan Rumah (PR) terbesar masih berada di tangan pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan.
Prof. Raymond R Tjandrawinata, Professor Bioteknologi Farmasi, menyebut bahwa salah satu penyebab keengganan industri berinvestasi pada obat berbasis alam adalah minimnya penggunaan oleh pemerintah.
"Penggunaan di pemerintah pun obat-obat berasal dari biodiversitas alam Indonesia ini masih sedikit," kata Raymond.
Menurutnya, hampir seluruh masyarakat telah memiliki kartu BPJS. Namun, dokter tidak dapat meresepkan obat berbahan alam karena Pemerintah belum mau memasukkannya ke dalam formularium nasional atau formularium BPJS.
"Sayangnya itu yang terjadi karena Kementerian Kesehatan masih belum enggan untuk memasukkan dalam formularium nasional atau formularium apapun yang membuat mereka para dokter itu bisa resepkan di fasilitas kesehatan manapun," tegasnya.
Raymond meyakini, jika keran BPJS dibuka, akan terjadi mass action yang menciptakan economy of micro action. Produsen akan banyak membuat fitofarmaka, utilisasi akan tinggi, dan pasokan (supply) banyak yang pada akhirnya akan menekan harga.
"Sekarang kan cuma dokter-dokter tertentu yang memakainya. Gimana cost-nya bisa turun secara ekonomi saja tidak mungkin... Harga akan turun. Ini belum bisa terjadi sekarang. Sehingga ongkos-ongkos investasi, ROI itu agak lama," imbuhnya.
Ia menyimpulkan, "PR-nya masih di pemerintah." Raymond juga mengingatkan, jika kran BPJS dibuka, industri juga wajib mempersiapkan diri dengan produk baru dan kapasitas utilisasi yang memadai untuk memproduksi bahan baku obat (Active Pharmaceutical Ingredient/API) dan produk akhirnya.
Isi Permenkes nomor 54
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 tahun 2018 soal Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Aturan ini bertujuan untuk menjamin kesediaan ibat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan menetapkan daftar obat terpilih yang disebut Formularium Nasional (Fornas)
(fik/spt)































