Dalam UU PPSK lama, Pasal 7 menyebutkan tujuan Bank Indonesia (BI) hanya menjaga stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.
Namun, dalam draf revisi, Pasal 7 ditambahkan ayat (2) diubah dengan menambahkan frasa "Bank Indonesia daun 47 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan kebijakan dan bauran kebijakan bank Indonesia mendapat menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja," tulis isi draf revisi tersebut.
Perubahan ini sekaligus menandai perluasan mandat BI, yang berarti tidak hanya berfokus pada stabilitas makro, tetapi juga diarahkan mendorong sektor riil.
Selain itu, draf UU baru tersebut juga mengubah Pasal 48 ayat (1), sekaligus menambahkan poin baru yakni angka 28a. Dalam poin itu, ada sebanyak 6 poin persyaratan pejabat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dapat diberhentikan.
Salah satu poinnya yakni Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dapat diberhentikan oleh Presiden apabila, "melanggar ketentuan perundang-undangan."
Kewenangan Penyidikan dan Restorative Justice
Revisi UU PPSK ini juga menjawab putusan MK terkait kewenangan penyidikan. Pasal 49 ayat (1) dalam UU lama menegaskan kewenangan penyidikan tindak pidana sektor keuangan hanya ada di OJK. Dalam draf baru, Pasal 49 diubah sehingga penyidikan dapat dilakukan oleh OJK maupun Kepolisian.
Lebih lanjut, dalam draf terbaru dijelaskan diantara pasal 48b dan pasal 49 disisipkan satu pasal yakni 48C yang memperkenalkan mekanisme restorative justice.
Mekanisme ini memungkinkan penyelesaian perkara pidana sektor keuangan melalui kesepakatan antara OJK, Kepolisian, dan pelaku usaha, selama kewajiban finansial atau denda dipenuhi. "Atas permintaan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pemilik Otoritas Jasa Keuangan, penuntut umum dapat menghentikan penuntutan setelah mendapat persetujuan dari jaksa agung melalui mekanisme keadilan restoratif," tulis ayat (5) dari pasal tersebut.
Pengaturan Aset Kripto dan Teknologi Keuangan Baru
Revisi RUU juga menambahkan tentang Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK). Dalam Pasal 312 ayat (1) ditegaskan OJK berwenang mengatur dan mengawasi kegiatan berbasis teknologi di sektor keuangan. Pasal 312A bagian B mengatur kewajiban perizinan baru bagi penyelenggara aset digital, sementara Pasal 312A C menetapkan masa transisi dua tahun bagi penyelenggara aset kripto yang sudah berizin untuk menyesuaikan izin ke OJK.
LPS Lapor Rencana Kerja & Anggaran ke DPR
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga mendapat mandat baru. Salah satu perubahan penting dalam revisi ini adalah Pasal 86 yang mengatur penyampaian rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Jika sebelumnya RKAT disampaikan kepada Kementerian Keuangan, kini draf revisi menetapkan bahwa RKAT, khususnya untuk kegiatan operasional, harus mendapat persetujuan DPR. Pasal 87 juga menegaskan kewajiban Dewan Komisioner LPS menyampaikan evaluasi anggaran tahun berjalan kepada Presiden dan DPR.
(lav)

































