Trubus menekankan, jika pemerintah ingin tetap memaksa mengambil lahan terlantar itu, harus disiapkan regulasi yang legit.
Tak hanya itu, jika tanah tersebut akan dibuat produktif harus diberikan pemahaman pada masyarakat bahwa lahan bukanlah hak milik mereka.
"Kadang masyarakat kita mengira, diberikan tanah untuk diolah. Pas nanti diambil mereka minta ganti rugi, kan padahal mereka hanya diupah untuk mengolah lahan tersebut," jelasnya.
Katanya, lahan yang terlantar bisa saja digunakan untuk program 3 juta rumah yang digagas pemerintah. Meski begitu, Trubus berpendapat, proses lahan tetap harus melalui jual beli dan tidak bisa mengambil secara paksa.
"Kalau 3 juta rumah bisa saja, asal pemilik ada kesepakatan. Dibeli atau apa, tapi jika secara paksa nggak bisa. Tanah itu harus bersifat jual beli, nggak bisa negara memaksa ngambil," pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyebut kebijakan tersebut selaras dengan keinginan pemerintah untuk menghindari adanya lahan yang terlantar.
Menurut dia lahan-lahan terlantar berpotensi menimbulkan konflik agraria jika dibiarkan begitu lama tanpa aktivitas ekonomi. Bahkan, kata dia, lahan kosong tersebut berpotensi diambil alih secara sepihak oleh orang-orang tertentu.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga berupaya untuk menegakkan keadilan dalam berbagai masalah pertanahan. Salah satunya, pemerintah kerap menemukan adanya pemilik izin lahan yang justru mengelola lahan di luar kewenangan atau peruntukannya.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid juga menyebut pemerintah dapat mengambil alih tanah bersertifikat masyarakat yang tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu dua tahun. Hal ini merujuk pada sertifikat HGB dan HGU.
Menurut dia, meski telah bersertifikat, pemilik aset harus tetap menggunakan tanahnya untuk aktivitas ekonomi atau melakukan pembangunan fisik. Lahan yang tetap kosong selama dua tahun berturut akan dinyatakan sebagai tanah terlantar, sehingga status kepemilikannya bisa diambil pemerintah.
(ell)





























