Logo Bloomberg Technoz

Bahkan bila melihat sektor formal dan informal, dalam lima tahun ini, angkatan kerja yang terserap ke sektor formal cuma sebanyak 2,19 juta orang saja.

Sampai data terakhir, jumlah pekerja di Indonesia yang berkecimpung di sektor formal adalah 59,18 juta orang. Angka itu tak berbeda jauh dengan posisi Februari 2020 yang sebanyak 56,99 juta orang.

Sedangkan bila menghitung persentase, jumlah pekerja yang berkecimpung di lapangan kerja formal saat ini justru lebih kecil ketimbang lima tahun lalu yaitu cuma 40,6%. Padahal pada 2020, persentasenya mencapai 43,5%. Sebelum pandemi, seperti terekam dalam data Sakernas Agustus 2019, persentasenya bahkan mencapai 44,28% pekerja di sektor formal.

Pekerjaan layak terbatas

Kajian yang dilansir oleh AlgoResearch mengungkap hal tak jauh berbeda. Riset tersebut mendapati bahwa penambahan jumlah angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja tidak diimbangi dengan ketersediaan pekerjaan yang layak.

Angkatan kerja baru makin banyak terserap ke jenis pekerjaan yang berupah rendah, kurang jaminan sosial dan rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Total angkatan kerja pada Februari 2025 mencapai 152,9 juta orang,  melampaui jumlah sebelum prapandemi seperti ditunjukkan data Sakernas Agustus 2019.

Selama periode Agustus 2019 sampai Februari 2025, diperkirakan sebanyak 17 juta pekerjaan tersedia di pasar, yang berhasil mengerek tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dari 67,5% menjadi 70,6%.

Akan tetapi, ketersediaan pekerjaan baru tersebut nyatanya didominasi pekerjaan yang kurang berkualitas yang dicirikan oleh upah rendah, minim jaminan sosial tenaga kerja, juga rentan terkena PHK.

Ketersediaan pekerjaan layak di Indonesia makin sempit. Gambar pekerja memilih kelapa parut di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (17/4/2025). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Ini ditunjukkan bila melihat perbandingan antara laju pertumbuhan pekerja penuh waktu, pekerja paruh waktu dan setengah penganggur alias pengangguran terpaksa.

Selama periode Agustus 2019 sampai Februari 2025, persentase pekerja penuh di Indonesia malah menurun yakni dari 71% menjadi 66,2%. Kendati secara nominal, angkanya meningkat sekitar 5 juta menjadi 96,4 juta orang.

Sebaliknya, persentase jumlah pekerja paruh waktu pada saat yang sama naik menjadi 25,8% dari tadinya 22,5%. Jumlahnya pun membludak sekitar 8,6 juta orang, menjadi 37,6 juta pekerja paruh waktu.

Angkatan kerja berstatus pengangguran terpaksa juga melonjak 3,4 juta menjadi 11,7 juta orang. Persentase dibanding jumlah angkatan kerja juga makin tinggi, menyentuh 8% yang berarti sebanyak 8 dari 100 angkatan kerja adalah pengangguran terpaksa.

Dari laju pertumbuhan, jumlah individu yang berstatus pekerja penuh waktu naik hanya 5,5% pada periode tersebut, lebih kecil dibanding pertumbuhan pekerja paruh waktu 29,6% dan setengah penganggur 41,1%.

"Dari 17 juta pekerjaan baru, sebanyak 12 juta di antaranya tergolong pekerjaan paruh waktu di mana sebesar 8,6 juta orang tidak mencari pekerjaan tambahan, sedangkan 3,4 juta orang masih aktif mencari pekerjaan baru," demikian dilansir dari AlgoResearch dalam publikasi yang dirilis 10 Juli.

Penambahan sebanyak 5 juta pekerjaan penuh waktu adalah hal positif akan tetapi tidak memadai untuk mengatasi tantangan lebih luas yang dihadapi masyarakat yakni terbatasnya kesempatan kerja bagi angkatan kerja.

Angka PHK naik 450%, Februari 2025 menyentuh 18 Ribu orang pekerja (Diolah)

Sementara pekerjaan paruh waktu sulit memberikan tingkat kesejahteraan yang baik. Jenis pekerjaan ini banyak tersedia di banyak sektor, termasuk ritel, perhotelan, pekerjaan jarak jauh juga gig economy seperti ojek online.

Pekerjaan paruh waktu dicirikan oleh jaminan kerja yang lebih rendah, risiko PHK lebih tinggi, pendapatan juga lebih rendah dibanding pekerjaan penuh waktu.

"Kami melihat ini sebagai tren struktural, terutama karena Pemerintah RI saat ini memprioritaskan pertumbuhan di sektor padat modal ketimbang padat karya," kata tim AlgoResearch.

Gelombang PHK juga meningkat di sektor padat karya dan diperkirakan akan terus berlanjut, seiring dengan kondisi manufaktur yang terkontraksi dalam tiga bulan beruntun akibat menghadapi lemahnya permintaan domestik dan ancaman perang dagang global.

"Selain itu, perusahaan-perusahaan yang semakin banayk berinvestasi dalam kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan produktivitas, kemungkinan akan mengurangi kebutuhan tenaga kerja ke depan terutama di kalangan profesional yang bekerja di kantor," kata AlgoResearch.

Situasi ketenagakerjaan dalam negeri yang memburuk itu diperkirakan akan terus berlanjut sampai ada langkah konkret dari Pemerintah RI mengubah fokus kebijakan ke arah penguatan industri domestik, alih-alih hanya berfokus pada industri hilir yang berorienstasi ekspor, kata tim peneliti AlgoResearch.

(rui/aji)

No more pages