Bloomberg Technoz, Jakarta - Pasar surat utang negara hari ini tak mampu menghindar dari terjangan turbulensi pasar yang meningkat tajam, akibat kekhawatiran akan pecah perang dunia ketiga menyusul serangan Amerika Serikat (AS) pada Iran kemarin.
Pada perdagangan Senin (23/6/2025), mayoritas harga Surat Utang Negara (SUN) tertekan yang ditandai dengan kenaikan tingkat imbal hasil alias yield.
Melansir data realtime OTC Bloomberg, yield SUN 2Y sempat naik 1,1 basis poin (bps) sebelum mengurangi kenaikan menjadi sebanyak 0,5 bps di level 6,175%.
Sedangkan tenor 5Y naik 5,1 bps menyentuh 6,464%. Disusul tenor 10Y yang juga naik hingga 4,1 bps kini di 6,805%. Tenor panjang 20Y juga naik 2,2 bps menyentuh 7,072%.
Namun, di tengah kenaikan imbal hasil mayoritas tenor, SUN tenor 1Y mencatat penurunan imbal hasil 2,2 bps kini di 6,012%.
Tekanan yang dihadapi oleh pasar surat utang negara pagi ini sudah diduga karena serangan pada Iran oleh AS yang menandai keterlibatan negara itu pada konflik Iran dan Israel, memicu kekhawatiran besar akan pecah perang dunia ketiga.
Para investor kini mencemaskan akan seperti apa balasan Iran pada serangan AS kemarin. Presiden AS Donald Trump pada konferensi pers pengumuman serangan ke Iran mengatakan, tindakan balasan Iran pada Amerika akan memicu serangan lebih besar lagi.
"Iran tampaknya bersiap untuk membalas serangan AS dengan mengganggu jalur suplai minyak dari Kuwait, Iraq, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab melalui Selat Hormutz," kata tim analis Mega Capital Sekuritas dalam catatannya.
Hal tersebut berpotensi memicu kenaikan harga minyak Brent ke rentang US$ 80-85 per barel. Rupiah berpeluang terdepresiasi hingga Rp16.400-16.500/US$ dipicu berlanjutnya outflow dari IHSG. "Kami menduga yield 10Y SUN dan INDON naik ke rentang 6,80-6,85% dan 5,30-5,35%," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Market Strategist Mega Capital.
Dampak ke APBN
Tekanan yang melanda pasar SUN hari ini selain terpicu oleh sentimen risk-off di lanskap global juga didorong oleh kekhawatiran dampak lugas lonjakan harga minyak dunia pada beban fiskal Indonesia.
Pada perdagangan pagi ini, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) dibuka melompat 5,63% di level US$78 per barel.
Sedangkan minyak mentah jenis Brent naik 4,26% menyentuh US$80 per barel.
Dengan demikian, harga minyak sudah naik 17% sejak serangan Israel ke Iran pada 13 Juni lalu, diperkirakan bisa menembus level ekstrem di US$130 per barel bila Iran sampai menutup Selat Hormuz, menurut perkiraan Bloomberg Economics.
Kenaikan harga minyak dunia bila berlanjut akan menambah tekanan defisit neraca perdagangan Indonesia karena peningkatan biaya impor energi.
Harga minyak yang tinggi ditambah pelemahan rupiah bisa menaikkan beban fiskal secara signifikan. Sebagai informasi, asumsi APBN untuk harga minyak ICP (Indonesian Crude Price) adalah US$ 82 per barel.
Setiap kenaikan US$ 1 di atas asumsi APBN melahirkan tambahan beban neto sekitar Rp7 triliun, sehingga defisit anggaran berpotensi melebar lebih dekat ke batas atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Di tengah tren penerimaan negara yang terus menurun akibat lesunya ekonomi domestik yang menekan penerimaan pajak, tambahan beban pengeluaran akan menjadi hal sangat buruk bagi kesehatan fiskal Indonesia.
Alhasil, para investor menaikkan permintaan akan imbal hasil dengan melepas kepemilikan obligasi mereka.
Tekanan jual sebenarnya sudah membesar sejak pekan lalu di pasar SUN, terutama dari investor asing.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dikompilasi oleh Bloomberg, sepanjang pekan lalu sampai data terakhir 18 Juni, asing menjual besar-besaran surat utang RI sehingga nilai kepemilikan di Surat Berharga Negara (SBN) oleh pemodal nonresiden turun sebesar Rp13,39 triliun hanya dalam tiga hari.
Kini, posisi asing di SBN ada di level Rp919,11 triliun, terendah sejak 22 Mei silam.
Bila menghitung selama Juni saja, asing telah mencatat penjualan neto di SBN sebesar US$ 421,8 juta month-to-date. Namun, selama kuartal II, asing masih mencetak net buy US$ 1,76 miliar yang membawa nilai beli bersih sepanjang tahun ini sebesar US$ 2,55 miliar year-to-date.
(rui/aji)