Selain itu, NCKL juga membangun pabrik quicklime melalui entitas PT Cipta Kemakmuran Mitra (CKM). Proyek bernilai investasi US$70 juta ini bertujuan menekan biaya operasional yang sebelumnya bergantung pada pembelian kapur dari pihak ketiga. Per akhir kuartal I-2025, progres konstruksi mencapai 42%.
Di sisi hulu, NCKL mempersiapkan pembukaan tambang ketiga lewat PT GTS. Eksplorasi telah dilakukan di area seluas 438 hektare dengan 1.800 titik pengeboran.
Lokasi tambang yang berada di pesisir akan terhubung ke smelter melalui transportasi kapal tongkang sejauh 68–70 km.
Hingga kuartal I-2025, volume penjualan bijih saprolit dan limonit mencapai 5,49 juta ton. Sementara itu, dari sisi produk olahan, penjualan nikel dari fasilitas HPAL mencapai 30.263 ton dan dari RKEF sebesar 43.873 ton. Pendapatan konsolidasian perusahaan tercatat USD 436 juta atau sekitar Rp7,1 triliun.
Tekanan Margin
Di balik masifnya ekspansi ini, analis mengingatkan adanya tekanan terhadap margin dan risiko arus kas, terutama karena harga nikel global masih bertahan di kisaran US$15.000 per ton.
“Kalau biaya produksi mendekati harga jual dan proyek belum menghasilkan dalam waktu dekat, margin bisa sangat tipis. Apalagi kalau belum ada kontrak jangka panjang yang menjamin penjualan dan produksi,” ujar Reydi Octa, analis Panin Sekuritas, kepada Bloomberg Technoz, Rabu (18/6/2025).
Meski begitu, Reydi tak menampuk, untuk jangka panjang, proyek pabrik quicklime berpotensi membantu efisiensi biaya karena bahan tersebut merupakan komponen utama dalam proses RKEF. Dengan produksi mandiri, NCKL bisa mengurangi ketergantungan pada pemasok luar.
Namun tantangan eksternal tetap besar. Oversupply nikel dari Indonesia diperkirakan terus membayangi selama satu hingga dua tahun ke depan karena banyaknya proyek smelter yang berjalan, sementara permintaan khususnya dari industri kendaraan listrik (EV) masih belum tumbuh sesuai ekspektasi.
“Ini bisa memperketat persaingan harga dan mempersempit ruang margin bagi pemain seperti NCKL,” kata Reydi.
Secara valuasi, pasar bisa saja bersikap skeptis apabila ekspansi besar-besaran ini tidak segera menghasilkan arus kas yang kuat.
“Kalau pasar melihat risikonya lebih besar daripada potensi keuntungannya, valuasi saham bisa tertekan. Apalagi kalau harga nikel tetap rendah dan proyek baru belum memberikan kontribusi ke cash flow,” ujarnya.
(dhf)

































