Bloomberg Technoz, Jakarta - Potongan atau biaya aplikasi menjadi permasalahan yang selalu bergulir dan tetap menjadi sorotan mitra ojek online (ojol) karena dianggap terlampau besar hingga mengurangi uang harian yang mereka dapatkan. Untuk itu penting mendorong transparansi dari aplikator atas sistem kalkulasi tarif.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang tengah menyoroti kabar merger dua aplikator ride hailing Grab-Gojek, meminta agar perusahaan dapat membuka diri atau lebih transparan dalam menginformasikan skema pembagian hasil kepada mitra pengemudi.
Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur secara kaidah, kedua belah pihak terikat atas perjanjian kemitraan dan harus saling menguntungkan.
“Perhitungan skema bagi hasil harus diinformasikan secara terbuka atau transparan oleh aplikator kepada mitra atau driver (ojek online). Misalnya, potongan biaya penunjang kesejahteraan itu digunakannya seperti apa, dan sebagainya. Jadi harus transparan,” ucap dia kepada Bloomberg Technoz, Selasa (17/6/2025).
Deswin menekankan bahwa pihaknya memperingatkan bahwa ketidaktransparanan atau kebijakan sepihak dari aplikator dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kemitraan, bahkan bisa mengarah pada praktik penguasaan yang melanggar hukum.
Otoritas pengawas persaingan dagang ini juga menyatakan siap mengambil langkah hukum jika ditemukan indikasi pelanggaran prinsip kemitraan yang adil.
“Jadi dalam bermitra harus setara dan transparan atau terbuka satu sama lainnya. Itu yang harus dipenuhi,” tutur Deswin.
Demo kerap menjadi jalan keluar bagi segelintir kelompok ojol online karena menganggap fee atau potongan dari aplikator sebesar 20% masih terlampau besar.
Tuntutan mereka agar persentase turun menjadi 10%, meski regulasi telah menentukan batas maksimal komisi 20% sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 1001 Tahun 2022 tentang pedoman perhitungan biaya jasa sepeda motor berbasis aplikasi.
 
Meski begitu, Direktur Riset Bidang Jasa Keuangan Ekonomi Digital dan Ekonomi Syariah Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Etika Karyani berpandangan, aturan komisi maksimal 20% dari tarif perjalanan belum sepenuhnya adil.
Sistem yang dibuat aplikator, lanjut Etika, mendorong penghasilan bersih para mitra ojol menjadi sangat minim. Mereka harus menangguh tidak hanya beban biaya operasional yang tinggi, tapi juga potongan-potongan lain.
Menurut Etika, biaya komisi 20% yang dibebankan mitra ojek online di Indonesia juga terlalu besar. Negara seperti Malaysia hanya menetapkan komisi sebesar 6%, sementara India mulai beralih ke model berlangganan tanpa potongan komisi.
Lantas, potongan 5% yang diklaim oleh perusahaan sebagai dana kesejahteraan dinilai belum memberikan dampak nyata, juga “perlu audit independen dan transparansi nyata.”
Hasil perhitungan CORE, idealnya tarif bisa turun pada level 10-15%, disesuaikan dengan dukungan konkret yang diberikan oleh platform.
Etika juga menekankan pentingnya penyusunan skema komisi dilakukan secara partisipatif, dengan melibatkan perwakilan driver agar lebih adil dan berimbang.
Transparansi, serta perlindungan sosial bagi para mitra, juga menjadi perhatian Peneliti sekaligus Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Izzudin Al Farras atas aturan main komisi aplikator layanan ojek daring.
Usulnya agar aplikator membuka laporan keuangan terkait penggunaan 5% dana program kesejahteraan mitra, sekaligus mendorong pemerintah untuk memberikan kejelasan hukum terkait hubungan kerja antara platform digital dan mitranya, karena ikatan kerja tersebut tidak memiliki payung hukum di Indonesia.
“Pada saat ini, pemerintah harus memastikan agar para pekerja informal di sektor digital seperti mitra pengemudi ojol ini harus mendapatkan perlindungan sosial, setidaknya mendekati perlindungan sosial yang didapatkan oleh pekerja pada umumnya yang memiliki ikatan kerja formal,” tegas Izzudin saat berbincang dengan Bloomberg Technoz.
Izzudin menambahkan, pemotongan biaya platform selama ini dilakukan dari tarif dasar. Persentase 20% menjadi adil jika perhitungannya diambil dari total biaya yang dibebankan konsumen. Izzudin juga menilai bahwa aplikator memotong biaya dari kedua pihak, mitra ojol dan pengguna.
“Implikasinya, selisih biaya akhir yang dibayar konsumen dengan pendapatan mitra menjadi sangat besar, lebih dari 20%, jelas dia. “Idealnya, skema biaya platform tetap sebesar 20%, namun dihitung dari biaya akhir yang dibayarkan oleh konsumen.”
Dua aplikator ride hailing, Gojek dan Grab, pada periode demo mitra ojek online dan ancaman offbid massal, memberi tanggapan. Ade Mulya, mewakili Gojek menjelaskan kbahwa perusahaan tetap membuka ruang komunikasi formal bagi mereka yang ingin menyampaikan aspirasi, dalam hal ini tuntutan penurunan potongan fee atau biaya aplikasi. Sementara Tirza Munusamy dari Grab Indonesia, mengatakan, “kami menghargai hak demokratis setiap mitra pengemudi.”
Pada sebuah kesempatan, Tirza selaku Chief of Public Affairs, menyebut bahwa fee sebesar 20% yang selama ini diterapkan merupakan bagian strategi menjaga keberlanjutan ekosistem. Biaya aplikasijuga sekaligus untuk mendukung pengembangan teknologi dan fitur keselamatan. Ia mencontohkan, terdapat fitur telepon yang bisa dipakai secara gratis oleh mitra atau pengguna. “Jadi itu untuk bantuan operasional.”
Grab Indonesia, melalui Country Managing Directornya, Neneng Goenadi, memberi rinci bahkan memberi simulasi bahwa perusahaan telah menetapkan standar komisi atas setiap perjalanan mitra sebagaimana ketentuan yang berlaku. Dalam sebuah perjalanan sejauh 2,86 kilometer diperoleh tarif Rp13.000. Dari jumlah tersebut, Grab menerapkan potongan komisi 20% atau setara Rp2.600, sehingga pengemudi menerima Rp10.400, atau 80% dari tarif dasar. 
Di luar komisi tersebut, terdapat pula biaya platform atas pemesanan sebesar Rp2.000, biaya karbon Rp200, dan biaya lain-lain (parkir), atau tip (jika ada), yang dibebankan langsung kepada penumpang. Simulasi ini diharapkan bisa menjawab persepsi publik yang Grab Indonesia anggap disalahpahami.
Selain itu, Grab Indonesia menjelaskan bahwa pendapatan perusahaan berasal dari dua sumber utama, yaitu komisi atau sewa aplikasi dari mitra pengemudi, dan platform fee atau sewa aplikasi dari pelanggan. Struktur ini disebut sejalan dengan praktik industri digital lainnya seperti layanan agen perjalanan online (OTA), di mana pengguna dikenakan biaya layanan tambahan di luar harga pokok.
 
(wep)






























