Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Keinginan Filipina untuk memulai hilirisasi nikel di dalam negerinya dinilai dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia, yang sudah terlebih dahulu menghelat program peningkatan nilai tambah di sektor yang sama.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan, di satu sisi, rencana Filipina memulai hilirisasi nikel dapat menjadi motivasi bagi Indonesia untuk makin memperkuat posisi sebagai pemasok nikel olahan di pasar global.

“Indonesia sudah terlebih dahulu menyetop ekspor ore nikel serta membangun smelter, dan saat ini baru diikuti oleh Filipina. Maka, Indonesia akan lebih unggul dalam hilirisasi,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (16/5/2025).

Kompleks pengolahan nikel yang dioperasikan oleh Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara, Selasa (7/3/2023). (Dimas Ardian/Bloomberg)

Jika Filipina jadi meratifikasi rancangan undang-undang (RUU) pelarangan ekspor mineral bijih pada Juni 2025, kata Bisman, negara tersebut akan mengalami peralihan kebutuhan nikel olahan menjadi berorientasi domestik.

Dengan demikian, pasokan bijih nikel dari Filipina di pasar global akan menyusut, sehingga harga komoditas mineral logam baterai tersebut diharapkan dapat terkerek.

“Jadi ini akan berpengaruh pada harga nikel, karena jika Filipina stop ekspor bijih, maka suplai nikel secara global berkurang, sehingga harga potensial naik. Terlebih, volume produksi nikel Filipina cukup signifikan,” terangnya.

Nikel diperdagangkan di US$15.799/ton pagi ini di London Metal Exchange (LME), terkoreksi 0,45% dari hari sebelumnya.

Di sisi lain, ambisi Filipina untuk memacu hilirisasi nikel bakal memberikan medan kompetisi yang cukup sengit bagi Indonesia. 

Bahkan, ujar Bisman, Indonesia bisa saja disalip oleh perkembangan industri nikel Filipina jika hilirisasi yang dilakukan di negara ini hanya berhenti sampai di tingkat pabrik pengolahan seperti smelter.

Bagaimanapun, dia meyakini Indonesia memiliki potensial untuk bisa terus unggul lantaran sumber daya dan cadangan nikel RI lebih besar daripada Filipina.

“Indonesia juga sudah memulai proses hilirisasi dahulu. Namun, jika hilirisasi tidak sampai membangun ekosistem industri turunan dan hanya sampai smelter, maka kita bisa disalip oleh Filipina,” kata Bisman. 

Cari Investor

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menilai wacana Filipina meratifikasi RUU pelarangan ekspor mineral bijih pada Juni 2025 berpotensi menciptakan persaingan baru dalam menarik investasi di sektor hilirisasi nikel di Asia Tenggara.

“Kebijakan Filipina memang berpotensi menciptakan persaingan dalam menarik investasi di sektor hilirisasi nikel,” kata Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq kepada Bloomberg Technoz, Rabu (14/5/2025). 

Bijih nikel dibongkar dari kapal pengangkut curah Sansho./Bloomberg-Carla Gottgens

Dalam hal persaingan investasi asing, kata Julian, Indonesia masih memiliki beberapa keunggulan, seperti infrastruktur hilirisasi nikel yang sudah lebih dahulu terbentuk serta cadangan bijih nikel yang lebih besar.

Meski demikian, Julian menyebut pemerintah juga terus berupaya meningkatkan daya saing terutama dalam hal kepastian hukum, insentif investasi, dan efisiensi birokrasi agar tetap menjadi tujuan utama investor global di industri nikel.

Di sisi lain, Julian menuturkan langkah Filipina melarang ekspor mineral bijih—jika benar-benar dilakukan — akan meningkatkan harga nikel. Tidak hanya itu, industri pengolahan di Indonesia akan terdorong untuk hanya bertumpu pada pasokan di dalam negeri dan tidak lagi mengimpor dari Filipina.

Menurutnya, rencana larangan ekspor bijih nikel Filipina merupakan bentuk pengakuan atas keberhasilan Indonesia dalam membangun ekosistem industri pengolahan dan pemurnian atau smelter.

Indonesia,  sebut Julian, menjadi negara yang telah lebih dahulu menerapkan kebijakan hilirisasi sejak 2014.

Dia menyebut langkah Filipina tersebut juga mencerminkan tren global menuju peningkatan nilai tambah komoditas tambang di dalam negeri.

“Ini menjadi sinyal positif bahwa negara-negara produsen nikel mulai fokus pada keberlanjutan industri dan kedaulatan sumber daya,” tuturnya.

Untuk diketahui, Filipina berencana meratifikasi RUU pelarangan mineral bijih paling lambat Juni tahun ini. RUU tersebut bertujuan untuk melarang ekspor bijih mentah dalam upaya Filipina meningkatkan industri pertambangan hilir.

Adapun, jika RUU disetujui, pemberlakuan larangan ekspor bijih mineral kemungkinan akan lima tahun setelah undang-undang ditandatangani, guna memberi waktu kepada para penambang untuk membangun pabrik pemrosesan.

"Jika ini dilakukan, saya yakin ini akan menjadi game changer bagi negara kita jika kita akhirnya akan memiliki pemrosesan di sini," kata Presiden Senat Francis Escudero awal Februari, dikutip Bloomberg.

Bukan kali pertama Filipina berupaya melarang ekspor mineral bijih. Pada 2014 dan 2016, Kongres pernah menyuarakan wacana tersebut, tetapi gagal karena minimnya dukungan.

Filipina adalah pemasok bijih nikel terbesar kedua di dunia dengan sebagian besar pengirimannya ditujukan ke pasar utama China.

Pemerintah Filipina telah mendorong para penambang untuk berinvestasi dalam fasilitas pemrosesan alih-alih hanya mengirimkan bijih mentah, dengan harapan dapat meniru keberhasilan pemasok nikel No. 1 dunia, Indonesia, dalam meningkatkan pendapatan pertambangan.

Larangan ekspor bijih logam Indonesia pada 2020 meningkatkan nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di negara ini.

Filipina dapat mengikuti jejak Indonesia, menurut Escudero, sebuah contoh negara kaya sumber daya yang mendorong nilai lebih dari mineralnya.

"Dari segi mineral, Filipina adalah negara kaya yang berpura-pura miskin," kata senator tersebut. Kurang dari 3% dari 9 juta hektare [22 juta hektare] lahan yang diidentifikasi oleh pemerintah sebagai lahan dengan cadangan mineral tinggi saat ini sedang ditambang.

Di lain sisi, Kamar Pertambangan Filipina dan Asosiasi Industri Nikel Filipina mengatakan larangan ekspor yang diusulkan “akan menyebabkan penutupan tambang” yang akan “mengurangi pendapatan pemerintah dan kegiatan ekonomi di masyarakat pertambangan.”

“Usulan tersebut akan menyebabkan gangguan besar pada rantai pasokan yang ada; banyak perusahaan pertambangan memiliki kontrak jangka panjang dan rantai pasokan yang mapan dengan pembeli internasional,” kata mereka dalam sebuah pernyataan.

(wdh)

No more pages