Harga nikel sepanjang tahun lalu menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.
Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terpelanting 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.

Dampak ke RI
Di sisi lain, Ibrahim menyebut Indonesia tidak akan terlalu berpengaruh secara signifikan karena cadangan nikel di Tanah Air cukup tinggi.
“[Cadangan] nikel Indonesia cukup besar. Artinya, tanpa mengimpor dari Filipina juga, Indonesia cukup bisa memenuhi [kebutuhan] untuk smelter di dalam negeri,” ujarnya.
Dia juga berpandangan, wacana larangan ekspor bijih nikel oleh Filipina nantinya akan diadukan ke World Trade Organization (WTO) oleh Uni Eropa (UE) dan Jepang. Sama halnya seperti Indonesia yang digugat oleh UE pada 14 Januari 2021 lantaran melarang ekspor bijih nikel.
“Kemungkinan besar akan dilawan oleh Jepang maupun oleh Eropa dengan melakukan pengaduan terhadap WTO. Sama seperti dulu Indonesia di zaman Jokowi itu kan dibawah juga ke WTO,” ucapnya.
Wacana pelarangan ekspor mineral bijih menyeruak pada awal Februari 2025, saat pemimpin Senat Filipina mengatakan Kongres berpotensi meratifikasi RUU larangan ore paling cepat pada Juni tahun ini.
Kongres Filipina reses setelah pekan pertama Februari dan sesi akan dilanjutkan pada Juni, tetapi Presiden Senat Francis Escudero saat itu berharap akan ada pertemuan komite bikameral dengan anggota dari Senat dan DPR untuk membahas RUU tersebut.
"Saya berharap itu akan dilakukan selama masa jeda sehingga kami dapat meratifikasinya ketika sesi dilanjutkan," kata Escudero dalam sebuah pengarahan.
RUU tersebut bertujuan untuk melarang ekspor bijih mentah dalam upaya Filipina meningkatkan industri pertambangan hilir.
Adapun, jika RUU disetujui, pemberlakuan larangan ekspor bijih mineral kemungkinan akan lima tahun setelah undang-undang ditandatangani, guna memberi waktu kepada para penambang untuk membangun pabrik pemrosesan.
"Jika ini dilakukan, saya yakin ini akan menjadi game changer bagi negara kita jika kita akhirnya akan memiliki pemrosesan di sini," kata Escudero, yang menulis RUU yang disahkan Senat pada pembacaan ketiga dan terakhir pada Senin.
Bukan kali pertama Filipina berupaya melarang ekspor mineral bijih. Pada 2014 dan 2016, Kongres pernah menyuarakan wacana tersebut, tetapi gagal karena minimnya dukungan.
Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah menyatakan pengusaha saat ini terus memantau perkembangan wacana Filipina tersebut, serta terus mempelajari dampaknya terhadap permintaan dan penawaran nikel di tingkat global berikut pengaruhnya pada pergerakan harga nikel dan lainnya.
“FINI saat ini terus memantau isu tersebut dan masih mempelajari detil dampak dari kebijakan Pemerintah Filipina. Tentunya perlu diantisipasi oleh pihak Pemerintah Indonesia dan pelaku industri nikel,” kata Arif saat dihubungi, Rabu (7/5/2025).
Arif menuturkan hingga saat ini pengusaha nikel di Tanah Air belum mendapatkan informasi detail terkait dengan pernyataan resmi dari Pemerintah Filipina soal wacana tersebut.
Akan tetapi, dia memahami langkah ini diambil Pemerintah Filipina sebagai upaya untuk meningkatkan industri hilir nikel, termasuk mendorong penambang untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.
“Kami, FINI melalui informasi dan pemberitaan mengetahui dan memahami bahwa Pemerintah Filipina saat ini tengah menggodok RUU yang melarang ekspor mineral mentah, termasuk nikel yang ditargetkan dapat berlaku mulai Juni 2025,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sebanyak 2,38 juta ton. Angka ini naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton.
Selain itu, menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Sementara itu, dari sisi pemurnian atau smelter a.l. Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).
(mfd/wdh)