Logo Bloomberg Technoz

Wijayanto menyoroti adanya pembatalan kenaikan tarif efektif PPN menjadi 12% secara mendadak dan tanpa disertai diskusi dan berbasis teknokrasi.

Pada satu sisi, Prabowo memang mendengarkan masukan dari banyak pihak tentang pembatalan tarif efektif PPN 12%. Namun, keputusan itu dilaksanakan secara mendadak.

"Padahal yang menurut kita untuk kebijakan sangat mendesak perlu teknokrasi harus solid," ujar Wijayanto.

Sekadar catatan, kebijakan tarif PPN 12% memang melalui berbagai perubahan arah kebijakan. Pada Maret 2024, pemerintah mengatakan kenaikan tarif pajak PPN menjadi 12% akan berlaku 2025, sesuai dengan amanat UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya adalah keberlanjutan. Tentu keberlanjutan program yang dicanangkan pemerintah dilanjutkan termasuk kebijakan PPN,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat itu.

Polemik PPN 12% terus bergulir hingga Desember 2024. Masyarakat dan ekonom menyoroti situasi yang tidak kondusif untuk peningkatan beban, khususnya di tengah daya beli yang melemah. 

Perubahan arah kebijakan mulai terlihat usai Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pertemuan dengan Prabowo. Sehari setelahnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga bertemu dengan 3 Wakil Menteri Keuangan di Kabinet Merah Putih a.l. Thomas Djiwandono, Suahasil Nazara dan Anggito Abimanyu di Gedung Nusantara III pada 6 Desember 2024.

Kala itu, Dasco mengatakan usulan PPN bersifat multitarif, di mana 12% hanya untuk yang selama ini masuk dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); 11% untuk komoditas yang dikenakan tarif ini merupakan barang yang bukan barang mewah dan tidak masuk dalam pengecualian pengenaan tarif PPN; dan komponen dikecualikan dari PPN.

Pada 16 Desember 2024, pemerintah justru mengumumkan untuk tetap menerapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Tarif PPN 12% berlaku secara umum atau tidak berlaku hanya untuk barang mewah. Pada saat yang sama, pemerintah juga mengumumkan insentif fiskal 2025.

Selanjutnya, pada 31 Desember 2024, Prabowo menyampaikan PPN menjadi 12% tetap berlaku dan hanya untuk barang dan jasa mewah. Pada dasarnya, tarif PPN tetap naik 12%, tetapi dasar pengenaan pajak (DPP) nya berbeda. Sehingga terdapat dua tarif efektif, yakni 11% dan 12%.

  2.   Guyur Insentif Fiskal

Saat pembatalan tarif efektif PPN 12% secara umum, kata Wijayanto, pemerintah berpotensi menambah beban pengeluaran karena sederet insentif fiskal yang diberikan tetap berlanjut, seperti bantuan beras 10 kg per bulan Januari-Februari 2025 bagi 16 juta penerima bantuan pangan; diskon tarif listrik 50% selama Januari-Februari 2025 untuk daya 2200 VA atau lebih rendah dan sebagainya.

Sebagai gambaran, awalnya pemerintah mengharapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% berpotensi menambah penerimaan negara sebesar Rp75 triliun.

Namun, hitung-hitungan kasarnya, penerapan tarif efektif PPN 12% untuk objek PPnBM hanya menambah penerimaan Rp2,5 triliun.

"Biaya insentifnya sumber Badan Kebijakan Fiskal mengatakan Rp25 triliun. Ternyata yang dipajakin hanya barang mewah hitungan kasar kira-kira tambahan revenue Rp2,5 triliun, tetapi insentifnya tidak dicabut. Jadi kebijakan yang diharapkan memperkuat fiskal hasilnya justru menambah pengeluaran," ujarnya.

  3.   Kenaikan UMP 6,5%

Ketiga, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 6,5%. Menurutnya, proses kenaikan ini terbilang mendadak dan tidak ada diskursus kepada pengusaha ihwal hitung-hitungan kenaikan.

"Ini adalah kenaikan UMP secara riil tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Prosesnya agak mendadak 5% kemudian pemerintah tiba-tiba menaikkan 6,5%," ujarnya.

Sekadar catatan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memang sempat menyatakan menunggu penjelasan pemerintah terkait dasar perhitungan yang digunakan untuk menentukan kenaikan rata-rata upah minimal sebesar 6,5%, yang disampaikan oleh Presiden Prabowo. 

Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan metodologi penghitungan tersebut penting agar kebijakan yang diambil mencerminkan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha. 

"Penjelasan penetapan UMP 2025 ini juga diperlukan bagi dunia usaha untuk mengambil sikap ke depan terhadap ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih terus berlanjut," ujar Shinta dalam keterangan resmi.

  4.   Tidak Ada PHK di Sritex

Wijayanto menyoroti pernyataan pemerintah yang menyatakan tidak ada pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, menyusul keputusan pailit terhadap perusahaan raksasa tekstil dan produk tekstil (TPT) asal Solo itu.

"Artinya kan harus going concern, permasalahannya adalah pailit itu keputusan pengadilan," ujarnya.

Kemudian, Wijayanto juga mempertanyakan mekanisme apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk memastikan tidak ada PHK. Terlebih, Sritex merupakan perusahaan swasta.

  5.   Jalan Panjang Investasi Apple

Kelima, Wijayanto menyoroti perdebatan panjang untuk menagih komitmen investasi Apple di Indonesia yang masih kurang dalam periode 2020-2023.

Menurut Wijayanto, pemerintah seharusnya menyiapkan ekosistem kepastian berusaha, alih-alih hanya melakukan negosiasi untuk berinvestasi di Indonesia.

Hal yang tenang tetapi pasti, kata Wijayanto, Vietnam justru sudah menampung investasi yang lebih besar dibandingkan Indonesia dari Apple. Tercatat, total investasi perusahaan berlogo buah apel di Vietnam mencapai Rp256 triliun.

"Memang negosiasi itu perlu tetapi yang lebih perlu adalah kerja dalam diam memperbaiki iklim investasi. Nah ini yang kita masih tertinggal," ujarnya.

  6.   Stop Impor Beras

Wijayanto menyoroti kebijakan tidak akan mengimpor komoditas beras pada 2025.

Menurutnya, dunia internasional justru diuntungkan melalui kebijakan ini, di mana harga komoditas dalam negeri berpotensi mahal karena pasokan terbatas, tetapi dunia internasional menikmati harga yang turun.

"Pemerintah malah bangga, gara-gara kita mengumumkan tidak akan impor, harga beras dunia turun. Ya kan yang menikmati negara tetangga bukan kita," ujarnya.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengeklaim kebijakan Indonesia untuk menyetop impor beras mulai tahun ini menyebabkan harga beras dunia susut.

"Ternyata, kebijakan kita turut memicu harga beras di pasar dunia turun. Begitu Pak Menko [Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan] sampaikan bahwa kita tidak mengimpor 4 produk pangan, salah satunya beras," ujar Arief dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (11/1/2025).

Arief lantas mengatakan jika harga sejumlah beras disejumlah negara berangsur turun mulai dari US$640/metrik ton (mt). Kemudian, harga kembali turun lagi menjadi US$590, hingga saat ini mencapai US$490/mt.

7. Program 3 Juta Rumah

Wijayanto menyoroti program 3 juta rumah yang dinilai memberatkan dari sisi fiskal, di lain sisi masyarakat juga belum tentu memiliki daya beli.

"Nah ini dari sisi fiskal pasti sangat berat. Masyarakat sendiri juga belum tentu punya daya beli," ujarnya.

Pemerintah menyiapkan skema pemberian rumah gratis dengan membayarkan cicilan Rp600 ribu per bulan selama 20 tahun, untuk membiayai rumah seharga Rp100 juta. Skema pemberian subsidi tersebut disebut termasuk dalam program 3 juta rumah.

Anggota Satgas Perumahan Bonny Z Minang mengestimasi program tersebut membutuhkan dana sekitar Rp21,3 triliun, tetapi hingga kini anggaran tersebut masih menunggu persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Untuk pembayarannya negara yang akan mencicil buat mereka yangg tergolong dalam kategori miskin, selama 20 tahun dan mereka mendapatkan rumah seharga Rp100 juta, ini program pengentasan kemiskinan,” kata Bonny ketika dihubungi Bloomberg Technoz, Senin (20/1/2025).

8. Penurunan Harga Tiket Pesawat

Terakhir, penurunan harga tiket pesawat 10% selama periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024-2025.

Padahal, kata Wijayanto, keuntungan industri penerbangan sudah sangat tipis.

"Ketika dipaksa atau diperintahkan untuk turun tanpa memperbaiki ekosistem, biaya bahan bakar, dan lain sebagainya, Maka sebenarnya ini menimbulkan disrupsi yang tidak perlu kepada industri," ujarnya.

Asosiasi Penerbangan Maskapai Nasional atau Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengatakan bahwa  kondisi finansial dan operasional maskapai saat ini yang sedang sulit, di mana semua maskapai sampai saat ini masih mengalami kerugian karena beban biaya yang lebih besar dari pendapatan.

"Dengan adanya rencana kebijakan dari pemerintah [menurunkan tarif] tentu akan mengurangi pendapatan maskapai, sedangkan biaya-biaya yang dikeluarkan tetap," ujar Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja dalam siaran resminya, dikutip Rabu (20/11/2024).

(lav)

No more pages