Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Kalangan pengusaha sektor kelapa sawit menilai rencana pemerintah yang mewajibkan menempatkan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) sebesar 100% di perbankan domestik akan membuat bengkak biaya modal.

Gabungan Industri Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan, penempatan deposito di Bank dalam negeri untuk US$ rate bunga deposito berada di kisaran 2-3 %. Jika digunakan untuk jaminan kredit, ada tambahan bunga kredit 1,5%.

"Biaya modal kerja akan naik. Ini akan menambah biata modal kerja," ujar Direktur Eksekutif Gapki Eddy Martono saat dihubungi, Kamis (23/1/2025).

Eddy mengatakan pengusaha perkebunan sawit saat ini juga tidak hanya mengolah buah sendiri, melainkan juga harus menerima buah atau Tandan Buah Segar (TBS) dari petani mitra.

Penerimaan TBS tersebut, kata dia, biasanya dilakukan hayna dalam kurun waktu seminggu setelah pengiriman, bahkah hanya mencapai 1 hari saja. "Artinya, ini butuh modal kerja juga untuk pembayaran TBS," terang Eddy.

Belum lagi, kata Eddy, kebanyak proses pengiriman TBS maupun minyak sawit mentah atau curde palm oil (CPO) dilakukan oleh pihak luar atau outsourcing koperasi perusahaan. 

Proses ini juga turut membutuhkan modal kerja, yang pada akhirnya juga akan terkikis jika penerapan DHE, yang direncanakan Maret tahun ini terealisasi.

"Ini bertujuan agar ekonomi di daerah tersebut berputar, tentunya ini juga membutuhkan modal kerja," ujar dia. "Kami sedang menunggu yg dimaksud ditahan 1 tahun itu apakah tidak bisa dicairkan sama sekali atau bagaimana, karena semuanya harus dihitung kembali biaya setelah adanya perubahan kebijakan ini."

Kebijakan ini sebelumnya dipastikan oleh pemerintah, dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan SDA.

Revisi itu membuat eksportir SDA, meliputi pertambangan, perkebunan, hingga perikanan wajib menempatkan DHE menjadi 100% selam 1 tahun penuh dari sebelumnya yang hanya 30% per 3 bulan.

Namun, dari kebijakan itu, pemerintah menyebur akan tetap memberikan pelonggaran untuk tetap membolehkan adanya ‘komponen biaya’ untuk bisa menjadi faktor pengurang jumlah penyimpanan (retensi) DHE SDA yang diwajibkan di perbankan lokal. 

Namun, kelonggaran tersebut memiliki syarat, komponen biaya itu harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah.

Sebagai gambaran, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan jika eksportir memiliki DHE SDA sebesar US$100 juta dan membutuhkan US$80 juta untuk operasional. Maka, kewajiban retensi 100% selama setahun berlaku untuk US$20 juta.

"Misalnya ekspor, biaya didapatkan US$100 juta, perlu diambil US$80 juta untuk operasional langsung dikonversi ke rupiah. Itu nanti mengurangi kewajibannya, jadi kewajiban 100% tinggal untuk US$20 juta. Kewajiban 100% tetap dapat, tetapi biaya operasional dalam rupiah tetap bisa jalan," kata Susi.

Pada dasarnya, kata Susi, kebijakan DHE SDA terbaru bertujuan agar eksportir memulangkan (repatriasi) dana hasil ekspor komoditas kembali ke sistem keuangan Indonesia melalui rekening khusus. 

Sebab, kata Susiwijono, tujuan utama dari DHE SDA adalah pertama, uang hasil ekspor masuk ke sistem keuangan Indonesia. Kedua, dikonversi ke rupiah. Ketiga, digunakan di Indonesia.

"Tujuan utama kita mengatur DHE supaya semua hasil ekspor harus masuk ke sistem keuangan Indonesia, idealnya harus ditukar ke rupiah dan dipakai spending untuk di domesti," ujar dia.

(ain)

No more pages