Reformasi BUMN Memacu Pembangunan Daerah
Albert Nonto
22 December 2025 07:31

|
Penulis: Albert Nonto Albert Nonton adalah seorang peneliti, wartawan senior bisnis dan ekonomi serta direktur pada Komodo Institut. |
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diharapkan menjadi akselerator dan trigger untuk menggerakan perkonomian, terutama industri di daerah. Dengan reformasi kelembagaan, perubahan orientasi bisnis dan paradigma, diyakini BUMN bisa memberikan warna reformatif bagi peta ekonomi Indonesia masa depan.
Reformasi dan restrukturisasi BUMN kini terus dilakukan pemerintah. Perubahan itu ditandai dengan mengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025. Perubahan fondasi legal BUMN juga berdampak pada struktur dan posisi kelembagaanya di antara institusi negara yang ada. BUMN bukan lagi sebuah lembaga setingkat kementerian, namun sebuah badan yang sifatnya lebih ad hoc dengan tugas utama membenahi secara kelembagaan, bisnis dan orientasinya.
Selain merestrukturisasi dan memaksimalkan profit dan perbaikan governance, BUMN lewat super holding company Danantara menata ulang struktur bisnis agar lebih relevan dengan kebutuhan Indonesia masa kini dan masa depan.
Baca Juga
Dengan cara ini pula, reformasi diharapkan meredefinisi strategy investasi dalam rangka me-reset ulang atau setidaknya menyesuaikan peta ekonomi bangsa agar lebih agile dan relevan dengan dunia moderen.
Pertanyaan yang paling fundamental adalah: ke manakah arah pengembangan BUMN ke depannya, dan bagaimana peran BUMN sebagai agent of development ini bisa mengubah peta ekononomi Indonesia?
Untuk itu, BUMN harus direformasi secara fundamental baik model bisnis, strategi investasi dan yang lebih penting reorientasi bisnisnya ke depan agar bisa bersaing dengan perusahaan swasta baik lokal dan terutama internasonal. Kajian kemudian berkembang, misalnya, bagaimana hasil reformasi BUMN itu bagi perekonomian nasional secara keseluruhan dan terutama perekonomian daerah. Tanpa perubahan paradigma itu, reformasi BUMN tidak punya signifikansi bagi peta ekonomi baru Indonesia yang lebih kompetitif dan mandiri.
Mengubah paradigma bisnis BUMN antara lain, misalnya, dengan melepaskan bisnis-bisnis “tidak penting” yang dijalankan mereka selama ini dengan cara divestasi atau merger sehingga tidak ada lagi kesan negara “berdagang” dan “bersaing” dengan rakyatnya. Atau melepaskan beban BUMN dari neraca keuangan negara sambil meredefinisi peran masing-masing, termasuk peran negara dalam memperjuangkan kesejahteraan.
Salah satu buah penting dari reformasi BUMN adalah untuk terus memperkecil jumlah badan usaha (down sizing) serta mempertahankan usaha yang tetap relavan (rightsizing). Menurut data Badan Pengelola BUMN (BP BUMN), hanya ada 102 BUMN yang beroperasi akibat merger, divestasi maupun ditutup operasionalnya karena bisnisnya sudah tidak relevan lagi. Penurunan jumlah entitas ini bukan hanya soal efisiensi struktural, tetapi juga reposisi mandat: dari penguasa aset menjadi pencipta nilai ekonomi.
Danantara yang kini jadi salah satu output penting reformasi kelembagaan BUMN kini telah memulai sejumlah langkah untuk berinvestasi dalam industri dasar serta sektor yang kurang banyak diminati swasta karena margin yang tipis serta kompleksitas akuntabilitas antar lembaga negara.
Investasi Danantara, misalnya, di bidang waste to energy dengan pembiayaan patriot bond di berbagai daerah dianggap bisa memberikan manfaat yang positif bagi perekonomian regional. Daerah yang selama ini kesulitan mengelola sampah menjadi energi terhambat secara kelembagaan kini tak perlu pusing lagi. Dengan cara ini daerah tidak lagi terbeban mengelola sampahnya, bahkan mendapatkan manfaat darinya. Demikin juga investasi yang masih dalam pipeline. Danantara tentu juga akan memberikan pembeda bagi perkonomian nasional di masa depan. Itu harapannya.
Dari menjalankan semua bisnis yang melahirkan banyak distorsi ke bisnis yang lebih fokus dan industri yang memang negara harus terlibat seperti, misalnya, industri petrochemical yang hasilnya sangat dibutuhkan untuk berbagai industri. Atau masuk ke bidang untuk memperkuat hilirisasi sektor pertanian dan peternakan sehingga tidak bertabrakan dengan usaha yang ada dan dilakukan oleh rakyat.
Akselerator pembangunan daerah
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Nagara Institut bekerja sama dengan Akbar Faisal (Uncensored) dan AFU.Id. awal Desember 2025 di Surabaya, mencuat beberapa issues penting yang sekaligus menjadi harapan peserta.
Pertanyaan besar yang muncul ke permukaan, misalnya, dengan reformasi BUMN yang sedang berjalan, apa yang diperolah daerah? Karena diskusi ini berlangsung pertama kali di Surabaya, pertanyaan pokoknya adalah: kira-kira apa yang diperoleh Jawa Timur dari serangkaian reformasi BUMN?
Jawaban singkat tentu saja, BUMN/ Danantara harus banyak berinvestasi di daerah sehingga mampu menggerakkan proses industrialisasi di daerah. Dengan mengatasnamakan kepentingan perekonomian, daerah bisa dilihat sebagai bagian dari perubahan paradigma reformasi BUMN yang menjadi fokus pemerintahan sekarang ini.
Misalnya, mendorong industrialisasi ke sektor sekunder dan tersier di daerah agar petumbuhan ekonomi lebih terpacu dan mampu meningkatkan pendapatan daerah (regional income) dan menciptakan lapangan kerja (job creation). Karena hanya dengan industrialisasi tenaga kerja yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian primer akan bergeser masuk ke sektor industri.
Dalam kasus Jawa Timur, salah satu pusat ekonomi nasional, peran BUMN dalam agenda reformasinya harus menempatkan daerah ini sebagai basis pengembangannya. Walaupun pertumbuhan ekonomi daerah di atas rata-rata nasional, sumbangan sektor industri masih sangat kecil, yakni hanya sekitar 6%. Dengan cara ini BUMN bisa berperan lebih menjadi akselerator industrialisasi daerah baik secara fiskal.
Juga, manfaat nyata bagi perekonomian serta menjadikan pengusaha daerah sebagai mitra strategis dalam menggerakan ekonomi daerah.
Reformasi organisasi BUMN bisa juga ditempuh untuk memberikan dampak langsung bagi daerah. Di propinsi dengan 42 juta penduduk ini banyak BUMN besar seperti PT Pelindo, PT PAL dan PTPN memiliki operasional yang sangat besar. Ia bahkan menjadi penyumbang terbesar dari pendapatannya. PTPN Jawa Timur, misalnya, memiliki hampir separuh kebunnya di daerah yang menjadi sentral dari 80% logistik pusat perekonomian di Indonesia bagian timur.
Jika saja kantor pusat BUMN tersebut berada di wilayah tersebut, tentu saja daerah akan mendapatkan manfaat secara fiskal karena pencatatan akunting berbagai pungutan pajak terjadi di daerah ini.
Ini bisa berkontribusi pada pendapatan asli daerah (PAD). Selama ini kantor pusat BUMN tersebut masih berada di Jakarta, sehingga yang mendapat manfaat fiskal adalah Propinsi Daerah Khusus Jakarta di mana kantor pusatnya beralamat secara legal. Akibatnya wilayah seperti Jawa Timur atau daerah lainnya di Indonesia kurang bisa merasakan efek besar dari kehadiran BUMN di wilayannya. Jika saja perubahan organisasi ini bisa dijalankan, daerah akan mendapatkan tambahan pendapatan di tengah menyempitnya ruang fiskal dari dana transfer ke daerah beberapa waktu ke depan.
Selain itu hasil dividen BUMN yang didapatkan dari operasi mereka di sana (retain earnings and profit) mestinya dipertahankan atau dikembalikan ke wilayah di mana BUMN itu beroperasi. Ini bisa menciptakan efek perekonomian berganda (multiplier effect). Yang terjadi, profit yang mereka dapat di daerah kemudian malah dialokasikan ke bisnis lain yang tidak terjadi di daerah tersebut.
Belum lagi perlakuan BUMN yang selama ini semata hanya menjadikan daerah sebagai “objek” dari kegiatan ekonomi BUMN di daerah.
Kendaraan milik PT Pelindo yang melintasi berbagai daerah di Surabaya, misalnya, menyisakan beban bagi pemerintah daerah untuk perbaikan jalan. Belum lagi berkenaan dengan berbagai pengembangan sarana prasarana lain di daerah yang menyisakan kesemrawutan di daerah.
Ke depan, baik itu BUMN/ maupun lengan investasi (investment arm) Danantara sebaiknya mempertimbangkan untuk berinvestasi pada sektor yang baru dan tidak bertabrakan dengan bisnis kalangan swasta atau rakyat yang sudah berjalan.
Misalnya, rencana Danantara berinvestasi di peternakan ayam justru meresahkan peternak setempat. Karena itu jalan tengahnya adalah agar Danantara bisa berinvestasi pada sektor hilir dari peternakan, misalnya, pengolahan daging, pabrik pakan atau masuk di sektor hilir pertanian lainnya demi menghindari persaingan tidak sehat antara BUMN dengan rakyat sendiri.
Dengan cara ini reformasi BUMN ke depan bisa menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) bagi pembangunan ekonomi wilayah/daerah. Soal pelaksanaannya apakah dilakukan oleh BUMN yang ada maupun lewat skema investasi Danantara yang memang akan fokus pada penguatan industri nasional, itu bisa dibicarakan kemudian. Masuknya BUMN/Danantara ke sektor yang kurang juicy (menarik) bagi kalangan swasta tentu akan menjadi trigger bagi pergerakan industri sekunder maupun tertier kemudian hari di wilayah.
Dan daerah sebenarnya sangat mampu untuk diajak bekerja sama mewujudkan harapan ini dengan mengubah skema investasi dan aturan main yang ada agar kemudian berinvestasi itu tidak hanya slogan semata.
Kalau Danantara atau BUMN tidak bisa bekerja sendiri, mereka bisa mengajak bermitra dengan partner lokal dalam bentuk private public partnership dengan skema yang lebih fleksibel dan disesuaikan dengan trend praktek ekonomi modern. Atau memperkuat kolaborasi dengan program pemerintah lain demi memperkuat ekonomi rakyat seperti UMKM dan koperasi.
Dengan revisi kebijakan dan dorongan tata kelola, mandat baru BUMN diproyeksikan ke arah pembangunan ekonomi yang lebih berkeadilan. Hal ini sejalan dengan narasi publik bahwa ekonomi Indonesia perlu lebih menekankan distribusi kemakmuran, akses ekonomi bagi UMKM, penguatan koperasi, hilirisasi yang terukur, kolaborasi BUMN–swasta–koperasi, serta konektivitas logistik antarwilayah.
Model baru ini menekankan sinergi lintas sektor. Misalnya, BUMN pangan tidak lagi sekadar menyerap komoditas, tetapi menjadi market maker yang memperkuat posisi petani dan koperasi desa, mirip blueprint pembangunan Koperasi Merah Putih (KMP) yang sedang dirancang pemerintah.
DISCLAIMER
Opini yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap, kebijakan, atau pandangan resmi dari Bloomberg Technoz. Kami tidak bertanggung jawab atas keakuratan, kelengkapan, atau validitas informasi yang disajikan dalam opini ini.
Setiap pembaca diharapkan untuk melakukan verifikasi dan mempertimbangkan berbagai sumber sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan berdasarkan opini yang disampaikan. Jika terdapat keberatan atau klarifikasi terkait isi opini ini, silakan hubungi redaksi melalui contact@bloombergtechnoz.com
Tentang Z-ZoneZ-Zone merupakan kanal opini di Bloomberg Technoz yang menghadirkan beragam pandangan dari publik, akademisi, praktisi, hingga profesional lintas sektor. Di sini, penulis bisa berbagi ide, analisis, dan perspektif unikmu terhadap isu ekonomi, bisnis, teknologi, dan sosial. Punya opini menarik? |
(alb)






















