Logo Bloomberg Technoz

Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Anthony Budiawan
20 October 2025 15:01

Proyek Kereta Cepat WHOOSH. (Dok: Wika.co.id)
Proyek Kereta Cepat WHOOSH. (Dok: Wika.co.id)

Penulis: Anthony Budiawan

Anthony Budiawan adalah Managing Editor PEPS (Political Economy and Policy Studies), lulusan Erasmus University, Rotterdam dan mantan Rektor Institut Bisnis Indonesia, Jakarta.

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sepanjang 142,3km sejak awal sudah penuh masalah dan sarat korupsi. Sungguh aneh kalau KPK masih mempertanyakan hal ini, bahkan mengimbau masyarakat melaporkan dugaan korupsi yang sudah terbentang jelas di depan mata. Hal ini mencerminkan komisioner KPK saat ini tidak kompeten. 

Dugaan korupsi Proyek KCJB dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, indikasi markup. Biaya Proyek KCJB sangat ketinggian. Awalnya, pihak China menawarkan AS$5,5 miliar, yang kemudian naik menjadi AS$6,02 miliar, atau setara AS$41,96 juta per km. Nilai proyek ini jauh lebih tinggi dari proyek sejenis di China, yang hanya menelan biaya AS$17-30 juta per km. Sebagai contoh, kereta cepat Shanghai–Hangzhou sepanjang 154 km, dengan batas kecepatan 350 km per jam, hanya menelan biaya AS$22,93 juta per km.

Artinya, biaya Proyek KCJB lebih mahal sekitar AS$19 juta per km dibandingkan Proyek Shanghai-Hangzhou tersebut, atau kemahalan sekitar AS$2,7 miliar. Patut diduga, nilai Proyek KCJB yang sangat tinggi tersebut karena penggelembungan, alias markup, yang sangat kasar dan sangat serakahnomics karena data investasi proyek kereta cepat di dunia sangat transparan dan dapat diketahui oleh siapapun dengan mudah.

Anthony Budiawan (Bloomberg Technoz)

Dugaan markup sangat kuat, karena proses evaluasi proyek sangat tidak profesional dan cenderung berpihak kepada pihak tertentu sehingga terindikasi melanggar proses pengadaan barang publik.

Keikutsertaan Jepang dalam pengadaan kereta cepat Jakarta-Bandung nampaknya hanya untuk 'pendamping' saja untuk memenuhi prasyarat proses tender. Keikutsertaan Jepang nampaknya dimanfaatkan hanya untuk mengatrol (baca: markup) harga kereta cepat China agar bisa mendekati penawaran dari Jepang. Tidak heran, penawaran China yang awalnya AS$5,5 miliar kemudian naik menjadi AS$6,02 miliar, mendekati harga penawaran Jepang sebesar AS$6,2 miliar. 

Penawaran Jepang kemudian digugurkan dengan alasan pihak Jepang minta jaminan APBN, sedangkan China tidak minta jaminan APBN karena mengikuti skema business-to-business, yang sekarang ternyata terbukti bohong besar: utang proyek kereta cepat China sekarang minta disuntik dana APBN.

Kedua, komponen bunga pinjaman. Baik Jepang maupun China menawarkan skema pembiayaan utang sebesar 75 persen dari nilai proyek, dengan tenor 50 tahun dan masa tenggang (grace period) 10 tahun, di mana selama 10 tahun pertama pemerintah hanya membayar bunga pinjaman saja. Jepang menawarkan bunga 0,1% per tahun, sedangkan China menawarkan bunga 2% per tahun, atau 20 kali lipat lebih tinggi dari bunga Jepang.

Dengan nilai proyek AS$6 miliar dan pembiayaan utang AS$4,5 miliar (75 persen), bunga pinjaman proyek Jepang hanya AS$4,5 juta per tahun (atau sekitar Rp73,35 miliar pada kurs Rp16.300/ASD). Sedangkan bunga pinjaman proyek China mencapai AS$90 juta per tahun, 20 kali lipat lebih tinggi, atau sekitar Rp1,47 triliun. 

Dalam sepuluh tahun grace period, bunga pinjaman proyek Jepang hanya AS$45 juta sedangkan proyek China mencapai AS$900 juta. 

Kalau beban bunga pinjaman ini masuk faktor biaya dalam evaluasi finansial proyek, maka penawaran China akan lebih mahal dari penawaran Jepang: AS$6,92 miliar (China) vs. AS$6,25 miliar (Jepang). Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan ada manipulasi dalam evaluasi pemilihan proyek untuk memenangkan penawaran dari China.

Kesengajaan mengabaikan komponen biaya bunga dalam pembiayaan proyek termasuk pelanggaran serius terhadap proses evaluasi proyek publik, dan termasuk tindak pidana. Karena bunga merupakan salah satu komponen biaya yang sangat penting untuk menentukan kelayakan finansial proyek: penentu mati-hidup proyek. 

Tidak heran, dengan tingkat bunga pinjaman China yang begitu besar, Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) saat ini megap-megap tidak mampu membayar bunga pinjaman tersebut, dan masuk kategori default: gagal bayar bunga.

Ketiga, pembengkakan biaya (cost overrun). Lebih parah lagi, biaya proyek membengkak AS$1,2 miliar, sehingga total nilai proyek menjadi AS$7,22 miliar atau sekitar AS$50,5 juta per km. Pembengkakan biaya sekitar 20 persen ini jelas tidak normal. Dalam proyek infrastruktur, pengerjaan proyek seharusnya bersifat turnkey (fixed price). Artinya, cost overrun wajib ditanggung oleh kontraktor proyek, yaitu pihak China. Tetapi, anehnya kenapa harus dibebankan kepada proyek? Ada apa?

Yang lebih parah, 75 persen pembiayaan utang dari cost overrun tersebut, atau sekitar AS$900 juta, dikenakan bunga pinjaman sebesar 3,4 persen per tahun, atau 34 kali lipat dari bunga yang ditawarkan Jepang.

Sehingga, total bunga pinjaman proyek kereta cepat saat ini mencapai AS$120,6 juta, atau sekitar Rp1,97 triliun per tahun (kurs Rp16.300 per dolar AS). Bayangkan, penawaran bunga pinjaman dari Jepang hanya sekitar Rp75 miliar saja. 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka KPK harus segera menyelidiki dugaan markup dan korupsi Proyek KCJB ini. KPK jangan berkelit lagi. Rakyat mengawasi.

DISCLAIMER

Opini yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap, kebijakan, atau pandangan resmi dari Bloomberg Technoz. Kami tidak bertanggung jawab atas keakuratan, kelengkapan, atau validitas informasi yang disajikan dalam opini ini.

Setiap pembaca diharapkan untuk melakukan verifikasi dan mempertimbangkan berbagai sumber sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan berdasarkan opini yang disampaikan. Jika terdapat keberatan atau klarifikasi terkait isi opini ini, silakan hubungi redaksi melalui contact@bloombergtechnoz.com

Tentang Z-Zone

Z-Zone merupakan kanal opini di Bloomberg Technoz yang menghadirkan beragam pandangan dari publik, akademisi, praktisi, hingga profesional lintas sektor. Di sini, penulis bisa berbagi ide, analisis, dan perspektif unikmu terhadap isu ekonomi, bisnis, teknologi, dan sosial.

Punya opini menarik?
Jadilah bagian dari penulis Z-Zone dan suarakan pandanganmu di Bloomberg Technoz.
Klik di sini untuk mengirimkan tulisanmu:
Formulir Penulisan Opini

(anb)

Artikel Terkait