Risiko pertama, kata Sudirman, pembatasan produksi bijih nikel berpotensi menyebabkan berhentinya operasi pabrik pengolahan atau smelter khususnya smelter pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) yang bergantung pada pasokan saprolit dalam jumlah besar.
Terbatasnya bahan baku tersebut dikhawatirkan memaksa smelter menghentikan lini produksi, melakukan penghentian operasional sementara, bahkan menutup permanen smelter dengan struktur biaya yang lemah.
“Harap dipahami bahwa Smelter merupakan industri proses yang dirancang beroperasi secara base load; ketika pasokan bijih dibatasi, pabrik tidak bisa sekadar menurunkan kapasitas secara fleksibel tanpa meningkatkan biaya produksi secara signifikan,” ujar Sudirman.
“Hal ini sangat berisiko mengingat sebagian besar investasi smelter nikel di Indonesia adalah investasi padat modal dengan kewajiban utang jangka panjang,” lanjut dia.
Kedua, berhentinya atau menurunnya operasi smelter akan berdampak langsung pada pemutusan hak kerja (PHK) dalam skala besar.
Dia menjelaskan, industri nikel tidak hanya menyerap tenaga kerja di smelter, tetapi juga di sektor tambang, logistik, pelabuhan, kontraktor alat berat, hingga jasa pendukung di wilayah tambang.
“Ketika pasokan bijih dibatasi, perusahaan tambang akan mengurangi produksi, kontrak kerja diputus, dan aktivitas pendukung ikut melemah. Dampaknya bersifat berlapis, yaitu PHK,” kata dia.
Ketiga, pembatasan produksi bijih nikel dapat menyebabkan penurunan devisa dan penerimaan negara, baik dari ekspor maupun pungutan fiskal. Smelter yang berhenti atau beroperasi di bawah kapasitas diprediksi menurunkan volume ekspor produk hilir seperti nickel pig iron (NPI), feronikel, nikel matte, dan produk turunan lainnya.
“Padahal, devisa terbesar dari industri nikel saat ini justru berasal dari ekspor produk olahan, bukan dari bijih mentah,” tuturnya.
Di sisi lain, penerimaan negara dari royalti tambang, pajak penghasilan badan, pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak daerah juga diprediksi menurun seiring menurunnya volume produksi dan laba industri.
Keempat, impor bijih nikel berpotensi meningkat terutama dari FIlipina dan Kaledonia Baru. Menurut dia, hal ini sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir, di mana impor dari Filipina terus mengalami peningkatan.
“Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar dunia justru berpotensi menjadi pengimpor bijih untuk memberi makan smelter dalam negerinya sendiri,” kata Sudirman.
Bagaimanapun, Sudirman menilai pembatasan produksi bijih nikel tanpa diferensiasi yang jelas antara jenis bijih saprolit dan limonit, tanpa sinkronisasi dengan kapasitas serta kebutuhan smelter berisiko menciptakan efek domino negatif.
“Namun demikian, Perhapi mengapresiasi kebijakan pemerintah yang telah menerbitkan peraturan baru yang tidak lagi mengizinkan pembangunan baru pabrik pengolahan nikel yang sebatas menghasilkan intermediate product, karena hal ini dapat mengerem jumlah kebutuhan dan produksi bijih nikel ke depannya,” ujar Sudirman.
Pangkas Produksi
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan akan memangkas target produksi bijih nikel tahun depan. Rencana pemangkasan produksi itu turut menyasar komoditas batu bara dan mineral lainnya.
“Semuanya kita pangkas. Bukan hanya nikel, batu bara pun kita pangkas. Kenapa? Karena kita akan mengatur supply and demand,” kata Bahlil kepada awak media di kantor Kementerian ESDM, Jumat (19/12/2025).
Hanya saja, Bahlil belum dapat mengungkapkan besaran target produksi nikel dan batu bara tahun depan. Dia beralasan kementeriannya masih menghitung penyesuaian volume produksi komoditas tambang tersebut.
Di sisi lain, dia mengatakan, manuver pemangkasan produksi itu dilakukan untuk menopang harga komoditas tambang mendatang.
“Jadi kita akan mengatur. Tujuannya apa? Pengusahanya harus mendapatkan harga yang baik. Negara juga mendapatkan pendapatan yang baik,” kata dia.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) membeberkan produksi bijih nikel dalam RKAB 2026 diajukan sekitar 250 juta ton, turun drastis dari target produksi dalam RKAB 2025 sebanyak 379 juta ton.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan rencana produksi bijih mentah tersebut ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan tahun ini demi menjaga harga nikel tidak makin turun.
“Rencana pemerintah gitu [produksi bijih nikel dalam RKAB 2026 sebanyak 250 juta ton]. Rencana ya. Namun, kan saya enggak tahu realisasinya,” kata Meidy ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (16/12/2025).
Selepas rencana pemangkasan produksi itu, APNI memprediksi harga saprolit dapat terkerek hingga US$25 per ton pada 2026, sedangkan limonit bisa terkerek US$30—US$40 per ton.
“Saprolit nanti akan ada kenaikan sampai US$25. Limonit akan ada kenaikan sampai US$30—US$40,” kata Meidy.
Adapun, menurut data APNI per 15 Desember 2025, rerata harga bijih nikel limonit tercatat US$22,5 per ton, sedangkan saprolit US$51,9 per ton.
(azr/naw)






























