Ia menambahkan, kajian mengenai resapan air dan dampak perubahan vegetasi hijau kerap absen dalam penerbitan izin prinsip. Banyak pengembang enggan membangun kolam retensi, embung, atau waduk kecil karena khawatir luas lahan jual berkurang dan biaya investasi meningkat.
Yayat menyoroti bahwa pelaksanaan pembangunan perumahan di daerah jarang merujuk RP3KP, padahal dokumen tersebut seharusnya menjadi landasan utama.
Karena itu, penghentian izin yang dilakukan Dedi Mulyadi ia nilai dapat menjadi kesempatan untuk kembali menata kawasan berdasarkan rencana jangka panjang.
“Kalau RP3KP itu benar-benar dijalankan, tidak perlu ada penghentian. Tapi banyak yang sudah terlanjur booking tanah dulu,” katanya.
Ia menyinggung contoh kawasan yang berubah drastis seperti Bandung Utara. Wilayah resapan yang dulu menjadi penopang hidrologi Bandung kini banyak tergerus pembangunan, sehingga kota cekungan seperti Bandung kehilangan pelindung alaminya.
“Ketika Bandung Utara hancur, itu tanda-tanda Bandung tidak terselamatkan. Resapan air habis,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, pengembang juga harus menunjukkan komitmen lingkungan, bukan sekadar menolak kebijakan. Pemerintah daerah perlu menuntut bukti penghijauan, pemulihan kawasan, hingga desain pengendalian banjir.
“Jangan hanya teriak dicabut izin, tapi tidak ada gagasan. Banyak rumah di Karawang dan Bekasi kemarin yang tenggelam, siapa yang bertanggung jawab?” ucap Yayat.
Yayat juga mengingatkan bahwa wilayah ini merupakan kota cekungan yang terbentuk dari letusan Gunung Sunda ribuan tahun lalu. Sebagai cekungan, pengelolaan hidrologi dan tata kelola air menjadi aspek krusial.
“Kalau Bandung itu cekungan, maka yang harus diselamatkan adalah hulunya. Kalau hulu rusak, banjir jadi keniscayaan,” katanya.
Yayat menyebut langkah Dedi Mulyadi bisa menjadi momentum untuk membangun prinsip baru yang lebih berkelanjutan. Tantangannya, kata dia, bukan hanya di pemerintah tetapi juga pengusaha dan masyarakat yang sering menolak perubahan.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menghentikan sementara penerbitan izin perumahan di wilayah Bandung Raya (Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kota Bandung dan Kota Cimahi).
Keputusan ini diambil KDM, sapaannya, dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor: 177/PUR.06.02.03/DISPERKIM tertanggal 6 Desember 2025.
Izin perumahan dibekukan sebagai bentuk respons bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kota Bandung, dan Kota Cimahi.
Penghentian sementara izin perumahan dilakukan sampai masing-masing pemda melakukan kajian risiko bencana.
"Menghentikan sementara penerbitan izin perumahan sampai dengan adanya hasil kajian risiko bencana masing-masing Kabupaten/Kota dan/atau penyesuaian kembali rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota," bunyi Surat Edaran tersebut.
(ell)































