Logo Bloomberg Technoz

Riefky juga menyoroti potensi konflik antar-mandat. Dengan mandat baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, BI bisa terdorong menurunkan suku bunga ketika pertumbuhan melambat. Namun pada saat yang sama, BI mungkin harus menaikkan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar ketika rupiah tertekan.

"Bayangkan, misalnya, growth stagnan dan Rupiah depresiasi, dengan mandat pertumbuhan ekonomi, BI perlu menurunkan suku bunga padahal untuk menjaga stabilitas nilai tukar, BI perlu menaikkan suku bunga," tegasnya.

Selain itu, Riefky mengingatkan perlunya batasan yang jelas terkait definisi 'lingkungan ekonomi yang kondusif bagi sektor riil' dalam perluasan mandat tersebut. Sebab menurutnya, tanpa kejelasan tersebut, mandat baru ini berisiko menimbulkan fiscal dominance.

Fiscal dominance diindentifikasi sebagai tekanan agar kebijakan moneter mengikuti kepentingan fiskal, yang pada akhirnya dapat mengurangi independensi BI dalam menentukan kebijakan.

Namun, di sisi lain Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai perubahan mandat BI dalam revisi UU PPSK akan memperkuat keselarasan kebijakan antara bank sentral dan pemerintah.

Josua menjelaskan, sejumlah tugas tambahan yang kini tertuang secara tersurat dalam UU PPSK sebenarnya sudah menjadi bagian dari bauran kebijakan BI selama ini. Ia menekankan kebijakan BI perlu diarahkan lebih spesifik untuk merespons tantangan struktural, terutama tekanan yang dialami, seperti pekerja sektor padat karya akibat kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat.

"Kalau misalkan kebijakan KLM (insentif likuiditas makroprudensial) tidak diarahkan kepada sektor-sektor yang padat karya, ataupun yang tadi mengalami tekanan akibat tarif resipokal dari AS, artinya kan kebijakannya BI kemana? kebijakan pemerintahnya kan harusnya menyasarnya kepada sektor padat karya, karena itu yang menjadi permasalahan kita," ungkap Josua dalam agenda PIER Economic Outlook di Jakarta, Kamis (4/12/2025).

Selain itu, lanjut Josua, revisi UU PPSK tersebut juga menegaskan kebijakan BI kini tidak bisa diterapkan secara bebas tanpa arah yang jelas.

BI tetap dapat memberikan relaksasi seperti penurunan Giro Wajib Minimun (GWM), namun harus menyertakan panduan agar perbankan menyalurkan kredit sesuai sektor prioritas.

"Jadi BI memberikan guidance bahwa sebaiknya perbankan memberikan menyalurkan kreditnya kepada sektor-sektor ini, padat karya, lalu juga misalkan perumahan yang memiliki sektor ikutannya banyak, artinya sektor lainnya juga banyak, artinya yang berdampak juga pada ekonomi-ekonomi kita jangan panjang," tegas dia.

Untuk diketahui, Komisi XI DPR RI secara inisiatif mengusulkan adanya revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Usulan ini akhirnya disetujui oleh seluruh fraksi di DPR RI dalam penutupan Rapat Paripurna ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025–2026, Kamis (2/10/2025).

Berdasarkan draf hasil harmonisasi 1 Oktober 2025, memuat sejumlah perubahan substansial, baik untuk menyesuaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) maupun perkembangan sektor keuangan digital.

Salah satunya dalam UU PPSK lama, Pasal 7 menyebutkan tujuan Bank Indonesia (BI) hanya menjaga stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.

Namun, dalam draf revisi, Pasal 7 ditambahkan ayat (2) diubah dengan menambahkan frasa "Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan kebijakan dan bauran kebijakan bank Indonesia mendapat menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja," tulis isi draf revisi tersebut.

(wep)

No more pages