"Tapi kan tetap masalahnya adalah di pasar uang sudah mulai kelihatan, pasar obligasi juga kelihatan, tapi di perbankan masih menjadi pekerjaan rumah, bunga kredit turun sedikit, bunga deposito cuma juga turun sedikit," kata dia.
Kebijakan makroprudensial misalnya, BI melakukan ekspansi berupa pembelian Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak Rp290 triliun sepanjang 2025. Kemudian, melakukan FX Swap dengan akumulasi mencapai Rp1.000 triliun. BI juga melakukan repo untuk bank yang membutuhkan likuiditas, dengan akumulasi Rp1.000 triliun.
Selain itu, terdapat pula insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) dengan total Rp404 triliun per November. Insentif yang dimaksud yakni memberi insentif dengan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sampai 5%, dari semula 9% menjadi 4%.
Tak hanya itu, BI juga memberi insentif KLM kepada bank yang bisa menurunkan suku bunga kredit dan bunga deposito dengan cepat. Insentif berupa tambahan penurunan 0,5% dari GWM.
"Itu yang disebut namanya ekspansi," tegas Destry.
Kebijakan sistem pembayaran yakni, BI menciptakan QRIS, BI Fast payment, kebijakan di sektor Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro, serta kebijakan ekonomi keuangan syariah. Seluruhnya juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kendati demikian, lanjut dia, BI juga menjalankan kebijakan kontraksi dalam rangka menjaga stabilitas. Salah satunya, menawarkan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk mengelola likuiditas saat banyak terjadi aliran dana asing keluar atau capital outflow.
"SRBI turun dalam sekali, suku bunga 125 bps, SRBI turun sampai 200 bps. Jadi kami coba normalisasi rate SRBI, naik sedikit memang dibanding 3 minggu lalu, tapi kita lihat ada inflow mulai masuk, ke SRBI dan SBN. ini normalisasi dalam rangka stabilitas ekonomi," papar Destry.
"Saya sepakat bahwa kita beruntung memiliki KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), dan didukung DPR sehingga ngobrolnya enak, walaupun kadang pak menkeu bilang 'Saya mau pro-growth, oke tapi kita stabilitas dulu ya'. Tapi pasti ada jalan tengah, karena kami juga punya kebijakan yang mengarah pada pertumbuhan," tegas Destry.
Sebelumnya, Purbaya mengeluhkan kebijakan BI yang dianggap memperketat likuiditas di sektor moneter.
Purbaya juga menggambarkan ketidaksinkronan kebijakan antara fiskal dan moneter. Pada September, dirinya memindahkan likuiditas negara Rp200 triliun dari BI ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk membangkitkan sistem perekonomian.
Dampaknya, dia mengklaim jumlah uang beredar tumbuh dari semula hampir 0% ke level 13%. Namun, pada Oktober 2025 kembali menurun menjadi 7%.
"Tapi saya dengar di bank (likuiditas) agak ketat lagi sekarang, yield obligasi saya naik lagi dari 5,9% ke 6,3%. Jadi kita lihat sepertinya entah sengaja atau tidak sengaja, di BI ada penyerapan uang lebih melalui SRBI (sekuritas rupiah BI), mungkin untuk menjaga nilai tukar, yang menekan uang beredar lagi ke bawah," ungkap Purbaya.
"Kalau sekarang saya diskusi mempertanyakan hal itu, saya dikira memasuki ruang bank sentral, tapi nanti ketika lebih terbuka (setelah revisi UU PPSK), ranahnya sudah menyatu. Maka kita bisa samakan pandangan dengan lebih cepat."
Utak-atik Peran BI dalam Revisi UU PPSK
Pernyataan Destry terkait upaya kontraksi dan ekspansi moneter demi pertumbuhan ekonomi disampaikan di tengah munculnya rencana perubahan tugas dan peran BI dalam revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (UU PPSK).
Dalam draf revisi UU PPSK tersebut, BI mendapat mandat baru, yakni seluruh kebijakan yang dilakukan bank sentral ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Padahal dalam UU PPSK sebelumnya tercantum, tugas dan peran BI adalah menjaga stabilitas rupiah, stabilitas sistem keuangan dan stabilitas sistem pembayaran dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Hal yang barunya sebenarnya spesifik pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Jadi buat kami itu menjadi lebih ke sektor riil, bahwa BI harus lebih banyak juga ke sektor riil," kata Destry.
(lav)

































