Logo Bloomberg Technoz

Pelemahan rupiah pada 2025 tidak semata-mata dipicu faktor eksternal. Sentimen negatif dari perlambatan ekonomi domestik mempertegas tekanan yang ada. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur membuat angka pengangguran meningkat menjadi 7,46 juta orang per Agustus 2025.

Selain itu, dominasi tenaga kerja informal juga turut memperburuk persepsi pasar. Pada Februari 2025, jumlah pekerja informal mencapai 86,56 juta orang atau 59,40% dari total penduduk bekerja.

Proporsi ini mengindikasikan rendahnya ketersediaan lapangan kerja berkualitas, sekaligus memperbesar kerentanan kelas menengah terhadap guncangan ekonomi.

Tekanan tersebut juga tercermin dari penyusutan signifikan jumlah kelompok kelas menengah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 9,4 juta penduduk kelas menengah turun kasta menjadi kelompok “calon kelas menengah” sepanjang 2019-2024.

Proporsi kelas menengah yang sebelumnya 21,45% pada 2019 merosot menjadi 17,85% pada 2024. Penyempitan basis kelas menengah ini yang menghambat daya dorong konsumsi, padahal konsumsi ini adalah motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Di sisi fiskal, ruang gerak pemerintah juga makin sempit. Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III-2025 melebar menjadi US$6,4 miliar.

Sementara cadangan devisa akhir September 2025 tercatat sebesar US$148,7 miliar. Meskipun berada dalam batas aman, pasar menilai ketahanan cadangan devisa ini tidak setangguh negara tetangga yang memiliki buffer lebih besar.

Terbatasnya ruang fiskal pemerintah akibat defisit APBN yang melebar dan meningkatnya kebutuhan pembiayaan utang dalam jangka pendek.

Pergerakan Nilai Tukar Rupiah

Jika melihat ke belakang, rupiah sebenarnya pernah berada dalam posisi yang jauh lebih kuat. Pada awal 2015, rupiah dibuka di Rp12.473/US$, salah satu titik terkuatnya dalam 10 tahun terakhir.

Namun sembilan bulan kemudian, mata uang Garuda langsung terdepresiasi menjadi Rp14.698/US$, mencerminkan sensitivitas tinggi terhadap gejolak eksternal saat itu, termasuk normalisasi kebijakan moneter AS.

Periode 2015-2020 menjadi masa fluktuasi intens bagi rupiah. Tren pelemahan berlanjut hingga menyentuh Rp15.238/US$ pada 9 Oktober 2018, sebelum akhirnya terpuruk ke titik terlemah, Rp16.575/US$, saat pandemi Covid-19 pecah pada 23 Maret 2020.

Setelah Covid-19 mereda, rupiah melanjutkan tren penguatan. Pada awal tahun 2021, rupiah berada di posisi Rp13.910/US$. Akan tetapi posisi itu menjadi posisi terkuat rupiah dalam lima tahun berikutnya.

Hingga sekarang, penguatan rupiah belum pernah berada di posisi Rp13.000/US$ lagi. Apresiasi rupiah hanya sanggup menggapai posisi Rp14.000/US$. 

Sepanjang 2025, nilai tukar rupiah mengalami tekanan tinggi, khususnya pada April dan September. Sejak September hinggal awal November rupiah terus bertahan di angka rata-rata Rp16.579/US$.

Akan tetapi, dengan asumsi makro kurs APBN 2025 sebesar Rp16.000/US$ maka depresiasi ini dianggap cukup dalam. Melemahnya rupiah hampir sepanjang tahun 2025 ini disebabkan oleh kebutuhan bayar utang luar negeri, pembiayaan impor serta keluarnya investasi asing. 

Sekarang, rupiah berada di tengah persimpangan: menuju momentum penguatan atau sebaliknya. Tekanan geopolitik serta perlambatan ekonomi menjadi dua sentimen yang akan menggelayuti pergerakan rupiah akhir tahun ini.

Lantas kemana arah rupiah tahun depan? Pergerakan nilai tukar rupiah akan bergantung pada skala pemangkasan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, serta bagaimana respons kebijakan moneter Bank Indonesia.

Jika The Fed cenderung dovish dan memangkas suku bunga, maka BI mampu menjaga bunga acuan tetap kompetitif, sehingga rupiah berpeluang lebih stabil. Tentu, penguatan fondasi makro ekonomi menjadi hal yang paling fundamental untuk dibenahi.

(riset)

No more pages