“Punten pak, sebetulnya bagi orang sehat pun buah apa saja nggak masalah. Apalagi makannya ketika habis makan utama seperti kebiasaan pada umumnya. Sebab kita punya istilah glycemic load (beban glikemik) bukan hanya indeks glikemik. Dengan adanya lemak dari makanan dan serat sayur maka laju kecepatan absorpsi gula akan terkendali. Dan fruktosa pada buah tidak sama dengan glukosa,” tulis Tan.
Tan menambahkan, fruktosa dalam buah memiliki metabolisme berbeda dibanding glukosa murni, sehingga tidak dapat disamakan begitu saja dengan gula cepat loncat dalam darah.
Tak berselang lama, Budi membalas komentar tersebut. “Asiap dokter favorit kita semua, terima kasih tambahan informasinya,” tulisnya singkat.
Ahli gizi masyarakat menilai isu ini sebagai momentum literasi gizi yang baik. Perdebatan ilmiah ringan yang terjadi justru bisa mendorong publik mencari tahu lebih jauh soal glycemic load, peran serat, dan timing konsumsi buah, alih-alih menghindari buah hanya karena label “tinggi gula”.
(dec/spt)
































