"Saat ini masih dalam proses investigasi tim di Direktorat Jenderal Pajak, khususnya di Direktorat Penegakan Hukum," ujar Bimo kepada wartawan usai konferensi pers pengamanan tersebut.
Bimo mengatakan, indikasi penyelewengan ekspor itu terjadi sejak 2021 hingga 2024 yang berasal dari 257 wajib pajak (WP), dengan total nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB) mencapai sekitar Rp45,9 triliun.
Dugaan bermula dari sejumlah eksportir melaporkan ekspor sebagai POME Oil (HS Code 230690) untuk menghindari kewajiban Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) sesuai ketentuan yang berlaku.
Padahal, POME sejatinya merupakan limbah cair hasil pengolahan CPO dengan kadar minyak hanya sekitar 0,7% dan tidak layak secara ekonomis untuk diekspor dalam jumlah besar.
Data internalnya juga menunjukkan bahwa volume ekspor POME justru melampaui volume ekspor CPO nasional, serta ditemukan perbedaan signifikan antara data ekspor Indonesia dan data impor negara tujuan atau mirror gap. Tetapi, DJP tidak memerinci lebih lanjut.
"Ini masih dugaan apakah itu sebenarnya produk POME atau bukan, tetapi saat ini masih dalam proses investigasi," tutur Bimo.
Selain temuan di sisi hilir, DJP juga mencatat perkembangan dari sisi hulu melalui kerja Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH). Dari pelaksanaan tahap 1 hingga 4, penyisiran dilakukan pada area seluas sekitar 1,5 juta hektare yang sebelumnya dialokasikan kepada Agrinas.
Dari proses tersebut, terdapat 352 WP yang tidak dilanjutkan penanganannya pada aspek PPh, PPN, dan PBB. Meski demikian, upaya penegakan di hulu berhasil menghasilkan tambahan penerimaan negara.
"Satgas PKH dari sisi hulu penanganan kawasan hutan, itu ada kenaikan sekitar 2,2 T gitu ya, dari posisi di tanggal yang sama tahun lalu jadi realisasi sampai 9 Oktober 2024, itu Alhamdulillah ada kenaikan sekitar 14,79%. Ini tentu dari apa saja, dari identifikasi kewajiban PBB dari kegiatan di kawasan hutan kemudian dari identifikasi tunggakan pajak," jelas Bimo.
(lav)































