Timboel mendorong agar pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan agar dapat mendefinisikan rumusan penghitungan UMP. Menurutnya, tuntutan buruh yang meminta agar UMP naik hingga 10% juga harus dipertimbangkan di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat.
"Jadi, kalau serikat pekerja mengusulkan 8,5% sampai 10%, ya mungkin harus dipertimbangkan lagi karena kan memang sektor ekonomi nasional kita kan masih terus belum normal. Jadi, kenaikannya pun tidak terlalu tinggi. Kalau sampai 10% susah juga untuk dunia usaha," sebutnya.
Dikonfirmasi terpisah, Akademisi Universitas Indonesia sekaligus pengamat di bidang perburuhan Aloysius Uwiyono mengatakan, polemik UMP sudah terjadi sejak dulu lantaran adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dan buruh.
Selama pemerintah maupun serikat buruh mengartikan upah minimum sebagai upah terendah yang diberlakukan, bukan sebagai upah terendah bagi pekerja yang bermasa kerja di bawah satu tahun, maka selama itu pula terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan serikat buruh," sebutnya pada Bloomberg Technoz.
Katanya, masalah UMP ini baru akan selesai jika dikonsepkan sebagai upah terendah bagi pekerja yang bermasa kerja di bawah satu tahun. Sedangkan bagi mereka yang bermasa kerja di atas satu tahun, maka harus dirundingkan di perusahaan masing-masing.
"Silakan Serikat Buruh merundingkannya dengan pengusaha secara musyawarah untuk mufakat," tambahnya.
Menurut Aloysius, selama ini pemerintah gagal paham dalam mengartikan kebijakannya sendiri, terutama aturan yang tertuang di Pasal 88E ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.
Dalam peraturan itu mengatur tentang pengupahan yang menyatakan bahwa upah yang diberikan kepada pekerja harus memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan secara spesifik menguraikan berbagai aspek pengupahan di Indonesia, termasuk hak pekerja atas upah minimum dan upah yang layak.
(ell)

































