Logo Bloomberg Technoz

Butuh Subsidi

Menurut dia, harga jual E10 dapat lebih mahal dibandingkan dengan bensin RON 92 jika tidak terdapat skema subsidi atau insentif harga, sebab biaya tersebut akan ditanggung oleh konsumen.

Dia menegaskan selisih harga antara E10 dengan bensin RON 92 bisa semakin mengecil jika pemerintah mampu meningkatkan skala produksi dan mendiversifikasi sumber pasokan bioetanol.

Akhmad menyebut, berdasarkan studi yang dilakukan Deloitte, didapatkan bahwa bioetanol generasi kedua, yakni yang diproduksi dari bahan non-pangan, seperti residu pertanian hingga limbah tebu dapat menekan biaya produksi BBM nabati tersebut.

“[Selain itu] selisih akan mengecil di masa depan dengan syarat [seperti] kebijakan yang mendukung pengurangan pajak atau eksis bioetanol, insentif untuk produsen, peningkatan efisiensi rantai pasok,” ungkap dia.

“Dengan meningkatnya permintaan karena blending mandate sehingga utilitas fasilitas naik dan biaya per liter turun,” lanjut Akhmad.

Bagaimanapun, Akhmad tetap menilai terdapat risiko pengetatan bahan baku gegara permintaannya bersaingan dengan industri pangan.

Dengan demikian, dia menilai langkah terpenting yang harus dilakukan pemerintah yakni memperkuat industri hulu dan mendiversifikasi bahan baku.

“Namun tetap ada risiko, feedstock yang bersaing dengan pangan atau industri bisa naik harga,” tegas dia.

Awal bulan ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia tiba-tiba menyampaikan Presiden Prabowo Subianto menyetujui mandatori bensin etanol 10% atau E10; sebuah program yang sebenarnya sudah cukup lama dipertimbangkan oleh pemerintah. 

Hanya saja, kata Bahlil, rencana bauran bioetanol 10% pada bensin kendaraan bermotor itu masih memerlukan waktu untuk uji coba sebelum diadopsi sebagai kebijakan energi nasional.

Dalam perkembangannya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkapkan implementasi mandatori E10 rencananya dilakukan terbatas hanya untuk sektor non-public service obligation (PSO).

Dia menargetkan program tersebut dapat diimplementasikan 2—3 tahun lagi, atau sekitar 2027—2028. Terkait dengan bioetanol yang dibutuhkan, dia menjelaskan untuk menjalankan mandatori E10 untuk sektor non-PSO akan mencapai 1,2 juta kiloliter (kl).

“Dua—tiga tahun, sekitar 2028. Non-PSO dulu, jadi bukan [tahun depan],” kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM Eniya Listiani Dewi di kantor Kementerian ESDM, Selasa (14/10/2025).

Ketika Indonesia bersiap mewajibkan penggunaan bioetanol 10% atau E10 pada 2027, perluasan mandatori bensin dengan campuran etanol justru sedang mendapatkan penolakan di Amerika Serikat (AS).

Sejumlah pihak menentang perluasan mandatori bensin dengan campuran etanol 15% atau E15 di Negeri Paman Sam itu.

American Petroleum Institute (API) menyampaikan kepada anggota parlemen federal bahwa mereka menentang undang-undang yang memperluas penjualan BBM dengan campuran etanol yang lebih tinggi, sebuah pembalikan arah bagi kelompok perdagangan minyak dan gas tersebut.

API menyatakan dalam suratnya kepada Kongres pada Selasa (21/10/2025) waktu setempat, bahwa "perkembangan legislatif, peraturan, dan pasar" selama delapan bulan terakhir telah mendorong API untuk mengubah posisinya terhadap RUU, yang disebut Undang-Undang Pilihan Konsumen dan Pengecer Bahan Bakar Nasional Tahun 2025.

"Para penyuling sekarang menghadapi perubahan struktur kepatuhan federal, beragam mandat negara bagian, dan pasar biofuel yang tidak pasti," tulis CEO API, Mike Sommers, dalam surat tersebut.

RUU tersebut akan memungkinkan bensin yang dicampur dengan etanol hingga 15%, yang disebut E15, untuk dijual sepanjang tahun di lebih banyak negara bagian. Bensin AS biasanya dicampur dengan bahan bakar terbarukan dalam jumlah yang lebih kecil.

(azr/wdh)

No more pages