Logo Bloomberg Technoz

Perdana menteri berikutnya akan menjadi yang kelima dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, mencerminkan tajamnya polarisasi politik di Prancis.

Partai Sosialis langsung menyatakan kesiapannya setelah pemungutan suara. “Saya pikir sudah saatnya kaum kiri kembali memimpin negara ini dan menghentikan kebijakan yang telah dijalankan delapan tahun terakhir,” ujar Ketua Partai Sosialis Olivier Faure di stasiun televisi TF1, merujuk pada masa jabatan Macron.

Namun, resistensi juga muncul. Di stasiun televisi France 2, Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau yang juga pimpinan Partai Republik berhaluan kanan-tengah, menegaskan dirinya tak akan bergabung dengan pemerintahan yang dipimpin perdana menteri dari kubu Sosialis. Pada saluran yang sama, tokoh kiri radikal Jean-Luc Mélenchon juga menyatakan tidak akan mendukung pemerintahan di bawah kepemimpinan Faure.

Kondisi politik yang bergejolak ini datang setahun setelah Macron menggelar pemilu kilat yang gagal memperkuat kekuatan sentris di tengah kebangkitan sayap kanan. Sejak itu, Indeks CAC 40 Prancis — yang memuat raksasa seperti LVMH, Airbus, dan L’Oréal — anjlok 3,3%, berbanding terbalik dengan kenaikan 5,4% pada Stoxx Europe 600 dan lonjakan 25% pada DAX Jerman.

Perbedaan imbal hasil obligasi pemerintah Prancis tenor 10 tahun dan Bund Jerman — indikator utama risiko — tercatat 76 basis poin pada Senin malam, turun dari 82 basis poin pada akhir Agustus, tak lama setelah Bayrou mengajukan mosi tidak percaya.

“Apapun hasil krisis politik saat ini, kemungkinan reformasi signifikan terhadap keuangan publik tetap rendah,” tulis Michael Nizard, kepala multi-aset di Edmond de Rothschild Asset Management, dalam pernyataan tertulis. “Pasar tampaknya sudah pasrah, dan barangkali hanya berharap defisit anggaran tidak semakin memburuk.”

Bayrou sebelumnya mengajukan rencana pemangkasan belanja dan kenaikan pajak senilai €44 miliar, dengan target memangkas defisit 2026 menjadi 4,6% dari produk domestik bruto, dari perkiraan 5,4% tahun ini. Ia juga mengusulkan penghapusan dua hari libur nasional — rencana yang tidak populer — demi menekan biaya di ekonomi terbesar kedua Eropa tersebut.

Menurut Bayrou, defisit Prancis merupakan yang terbesar di zona euro, dengan utang meningkat €5.000 per detik. Biaya bunga utang diperkirakan mencapai €75 miliar tahun depan.

Krisis utang Prancis. (Sumber: Bloomberg)

Di sisi lain, Partai Rally Nasional pimpinan Marine Le Pen serta kelompok kiri radikal France Unbowed sama-sama menuntut pemilu legislatif baru. Namun Macron menepis wacana tersebut, menegaskan hanya akan menunjuk perdana menteri baru. Beberapa pihak bahkan menyerukan agar Macron mundur, tetapi ia berkukuh akan tetap menjabat hingga masa akhir kepresidenannya pada 2027.

“Jika tidak ada pembubaran parlemen, kami akan terus bekerja dengan semangat konstruktif namun tanpa kompromi untuk memperjuangkan ide-ide yang diminta pemilih kami,” kata Le Pen dalam pidato sebelum pemungutan suara. “Namun saya tegaskan dengan serius: jangan harap Rally Nasional mengikuti kebijakan fiskal dan migrasi Anda yang gila, serta bias ideologis sempit yang membuat Anda buta terhadap realitas negara ini.”

Gelombang aksi unjuk rasa juga menambah tekanan. Serikat pekerja telah merencanakan aksi mogok nasional pada 18 September, sementara demonstrasi lain dijadwalkan berlangsung pada 10 September.

Lembaga pemeringkat Fitch dijadwalkan mengumumkan pembaruan peringkat utang Prancis pada Jumat ini.

Sesuai konstitusi, keputusan untuk menunjuk perdana menteri sepenuhnya berada di tangan presiden tanpa batas waktu tertentu. Macron sebelumnya butuh dua bulan untuk menunjuk Michel Barnier, yang hanya bertahan 90 hari di jabatan perdana menteri. Setelah Barnier dilengserkan, Macron memerlukan lebih dari sepekan untuk menunjuk Bayrou. Begitu perdana menteri baru dipilih, ia harus mengajukan susunan kabinet untuk disetujui Macron.

(bbn)

No more pages