Secara tahunan, pertumbuhan impor juga melambat menjadi 7,69% dibandingkan 21,84% pada bulan sebelumnya. Normalisasi impor ini terkait erat dengan meredanya kecemasan pasar seiring menurunnya ketidakpastian tarif, terutama setelah AS dan China berhasil mencapai kesepakatan. Hal ini tercermin pula dari ekspor China ke Indonesia yang menurun tajam, dari pertumbuhan bulanan 26,04% pada April menjadi kontraksi sebesar 9,28% pada Mei.
Secara keseluruhan, Josua menilai, meskipun neraca perdagangan mencatat surplus yang lebih besar pada Mei 2025, tantangan eksternal masih perlu diwaspadai. Meskipun tensi perang dagang berkurang, tarif impor AS terhadap barang-barang China yang tetap tinggi atau 30% dibandingkan level sebelum perang dagang tetap memberikan tekanan terhadap pertumbuhan global serta harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Namun demikian, lemahnya permintaan domestik Indonesia di tengah kondisi ekonomi yang masih relatif tertekan berpotensi menekan laju impor sehingga mendukung posisi net ekspor yang tetap positif. Selain itu, tekanan harga minyak yang menurun akibat meredanya ketegangan di Timur Tengah juga memberikan dukungan tambahan terhadap neraca perdagangan.
"Dari perspektif yang lebih luas, kondisi surplus perdagangan yang stabil turut membantu menjaga defisit transaksi berjalan [CAD] Indonesia pada level yang terkendali, meskipun diproyeksikan melebar sedikit menjadi 0,87% dari PDB pada 2025, dibandingkan 0,63% pada 2024. Dengan CAD yang masih dalam batas aman ini, Bank Indonesia memiliki ruang kebijakan yang memadai untuk menurunkan suku bunga acuan guna mendorong pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Kebijakan baru terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari sektor sumber daya alam juga akan memberikan tambahan likuiditas untuk cadangan devisa, sehingga mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan demikian, hingga akhir 2025, cadangan devisa diproyeksikan berada pada kisaran US$153–157 miliar, sementara nilai tukar rupiah diperkirakan stabil pada kisaran Rp16.100–16.400 per dolar AS, menunjukkan fundamental ekonomi eksternal Indonesia yang relatif kokoh di tengah dinamika global yang masih cukup menantang.
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$4,9 miliar pada Mei 2025.
Angka ini meningkat 2962% secara bulanan (month-to-month/mtm) dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan US$160 juta pada April 2025. Selain itu, realisasi ini juga akan menjadi surplus bulanan terbesar di Tanah Air dalam lebih dari dua tahun.
Perlu diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) baru akan mengumumkan realisasi ekspor, impor dan neraca perdagangan per Mei 2025 pada 1 Juli 2025 mendatang. Bila datanya tidak berubah, surplus neraca perdagangan US$4,9 miliar pada Mei 2025 bakal menjadi yang terbesar sejak Februari 2023. Saat itu, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan US$5,4 miliar.
Sri Mulyani menjelaskan capaian surplus neraca perdagangan pada Mei 2025 terjadi karena nilai ekspor Indonesia sebesar US$25,3 miliar dan impornya sebesar US$20,4 miliar.
"Dari sisi neraca perdagangan, surplus pada Mei adalah US$4,9 miliar. Ini karena ekspor kita mencapai US$25,3 miliar, sementara impornya US$20,4 miliar," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, dikutip Sabtu (21/6/2025).
(dov/del)
































