Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Analis Tokocrypto Fyqieh Fachrur memproyeksikan harga Bitcoin bakal tertekan pada Juni 2025, setelah sempat menyentuh rekor tertingginya di kisaran US$112.000 atau sekitar Rp1,82 miliar pekan lalu.

Fyqieh menerangkan tekanan harga saat ini berasal dari aksi ambil untung atau profit taking, distribusi besar dari penambang, resistensi teknikal hingga ketidakpastian makro.

“RSI [relative strength index] 14 hari saat ini berada di level 65,44 — menunjukkan momentum netral dan membuka ruang konsolidasi lebih lanjut,” kata Fyqieh mengutip dari keterangannya, Jumat (30/5/2025).

Untuk diketahui, dalam 24 jam terakhir, harga Bitcoin berada di level US$106,100 atau setara dengan Rp1.740.986.573, minus 1,65% dalam 24 jam terakhir.

Sepanjang periode ini, BTC sempat menyentuh level tertingginya di Rp1.777.593.560, dan harga terendahnya di Rp1.719.826.658.

Menurut Fyqieh, pasar kripto bakal tertekan pada Juni 2025. Alasannya, investor mulai mengurangi eksposur risiko, tercermin dari penurunan kapitalisasi pasar dan naik-turunnya tingkat pendanaan.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang melambat dan inflasi yang masih tinggi membuat pasar lebih sensitif terhadap ketidakpastian suku bunga.

Pertemuan penting FOMC (Federal Open Market Committee) pada 17-18 Juni mendatang menjadi titik perhatian utama. Hingga saat itu, volatilitas pasar diperkirakan masih tinggi seiring investor menimbang risiko stagflasi dan potensi kebijakan suku bunga yang berubah.

Dalam kondisi seperti ini, investor institusional kerap memanfaatkan volatilitas untuk redistribusi aset melalui strategi manajemen ekspektasi.

"Investor perlu memperkuat manajemen risiko dan disiplin dalam pengambilan posisi," kata dia.

Kendati tekanan jual meningkat, permintaan institustional diperkirakan tetap solid. Hal ini tercermin dari masuknya dana besar dari institusi yang tetap membeli Bitcoin, termasuk perusahaan seperti GameStop.

Data on-chain turut memperlihatkan dinamika yang menarik. Jumlah dompet "whale" atau investor besar yang memiliki 1.000-10.000 BTC sempat mencapai puncak 2.021 dompet pada 25 Mei, tetapi turun menjadi 2.003 hanya dua hari kemudian.

Penurunan ini dinilai sebagai sinyal aksi ambil untung yang memperbesar potensi volatilitas jangka pendek.

"Saat ini Bitcoin berada dalam zona kritis konsolidasi. Risiko teknikal seperti death cross masih membayangi, tapi selama support kuat tidak ditembus, peluang untuk reli lanjutan tetap ada," terangnya.

Ia juga mencatat, selama harga BTC mampu bertahan di atas US$107.000, peluang untuk menguji ulang level US$109.000 masih terbuka.

Sebaliknya, jika tekanan jual terus berlanjut hingga menembus support utama di US$104.670, koreksi lebih dalam bisa terjadi.

 Meski demikian, dari sisi struktur pasar, tren jangka menengah Bitcoin dinilai masih positif, dengan potensi pengujian ulang ke area US$110.700-US$112.000.

Katalis Positif Dukungan Politik 

Di tengah tekanan teknikal dan makroekonomi, dukungan politik terhadap Bitcoin memberi angin segar.

Wakil Presiden AS JD Vance dalam pidatonya di Bitcoin Conference 2025 di Las Vegas pada 28 Mei lalu, menyebut Bitcoin sebagai "lindung nilai terhadap inflasi, kontrol pusat, dan diskriminasi politik oleh sektor swasta."

Dirinya juga mengungkap secara pribadi memegang Bitcoin, yang mana hal ini kian memperkuat citra BTC.

Pernyataan Vance tersebut muncul berbarengan dengan dirilisnya risalah rapat Federal Reserve bulan Mei, yang menunjukkan kekhawatiran terhadap inflasi tinggi dan proyeksi tingkat pengangguran yang bisa menembus 4,6%.

Ketidakpastian kebijakan moneter dan risiko stagflasi semakin memperkuat posisi Bitcoin sebagai aset lindung nilai di tengah ketidakstabilan ekonomi global.

"Momen ini menjadi titik penting bagi investor untuk memahami peran Bitcoin dalam lanskap, ekonomi baru. Dukungan dari tokoh penting seperti JD Vance memperkuat posisi Bitcoin di panggung kebijakan publik," jelas Fyqieh.

(prc/naw)

No more pages